ASAL MULA SUKU BATAK ALAS DAN KEDATANGAN BATAK TOBA PADA ZAMAN KOLONIAL BELANDA SERTA PENYEBARANNYA DI TANAH ALAS, KABUPATEN ACEH TENGGARA
Oleh:
Dr. Thalib Akbar, M.Sc.(USA)
Lektor Kepala/Researcher
NIP. 19610328 198603 1 003
SEKRETARIS MAJELIS ADAT ALAS (MAA)
Kabupaten Aceh Tenggara
DIPRESENTASIKAN PADA SEMINAR NASIONAL:
PERADABAN/BUDAYA BANGSO BATAK DAN PERINGATAN
HUT PERTAMA KESATUAN BANGSO BATAK SEDUNIA (KBBD)
HARI/TANGGAL :
SABTU/MINGGU, 16-17 OKTOBER 2010
DI AULA MARTABE, KANTOR GUBERNUR SUMATERA
UTARA
MEDAN
2010
PENDAHULUAN
Menyingkap tabir tentang sejarah dan
asal muasal sukuBangsa Alas di Kabupaten Aceh Tenggara tidak dapat dipisahkan
dari adat dan budayanya yang berhubungan dengan suku Batak Karo, Toba, Singkil,
Kluet, Gayo, dan Batak Angkola dll, mengingat
keberadan suku-suku ini mempunyai korelasi positif antara etiologi klans dengan
antropologi budayanya yang telah memunculkan suatu manifestasi gerak jiwa yang membentuk
karakter saling mempengaruhi dalam kehidupan Suku Bansa Alas ini sehari-hari di
Kabuypaten Aceh Tenggara. Oleh sebab
itu kuranglah lengkap bila hanya membahas tentang Sejarah Asal Mula Suku Alas
sebagai bagian dari suku Batak dan Penyebarannya di Tanah Alas, Aceh Tenggara
kalau ditinggalkan pembahasan marga-marga, antrofologi dan hukum adat Alas,
Penerapan dan Peradilan adat dalam Era Reformasi sekarang ini.
Menurut Akbar dan Sri Kartini (2006)
bahwa ukhang Alas atau Khang Alas atau Kalak Alas telah bermukim di Lembah Alas
(Alas Valley) jauh sebelum Pemerintah
Kolonial Belanda masuk ke Indonesia, dimana keadaan penduduk lembah Alas telah
diabadikan dalam sebuah buku yang dikarang oleh seorang bangsa Belanda bernama
Radermacher (1781:8). Diperhitungkan
orang Alas sudah bermukim di lembah Alas sejak tahun 679 Masehi, mereka berasal
dari pesisir Barat Pulau Sumatera, yaitu dari sekitar muara Sungai Sungkraya
dan Labuhan Haji Aceh Selatan yang dikenal sebagai Marga Dese (Paledese). Mereka inilah diduga suku marga pertama hadir
di Tanah Alas, dan tidak membentuk kerajaan dimana jumlahnya adalah dominan,
sehingga dijulukidijuluki secara mitos dalam legenda Suku Alas bahwa kalau
mereka disambung bertingkat-tingkat ke atas menjadi tangga dapat dipakai
sebagai penjolok Bulan di angkasa.
Diperkuat lagi oleh berbagai catatan sejarah, khusus masuknya Islam ke
Tanah Alas pada tahun 1325 (Effendy, 1960:36), maka jelas Tanah Alas telah
dihuni penduduk (Bangkaru, 1998) walaupun masih bersifat nomaden (nomadic society), dengan menganut
kepercayaan animisme dan lain sebagainya.
SEJARAH ASAL MULA SUKU BATAK ALAS DI ACEH TENGGARA
Nama Alas diperuntukkan bagi seorang
atau kelompok etnis Alas, sedangkan daerah Alas sendiri disebut dengan Tanoh Alas (Alasland). Menurut Kreemer (1922:64) bahwa sebutan “Alas”
berasal dari nama seorang kepala etnis, yaitu seorang cucu dari Raja Lambing,
yang dahulunya bermukim di desa paling tua di Tanah Alas, yaitu Batoe Mboelan, kemudian nama desa ini berubah ejaannya
menjadi Batumbulan. Desa ini sekarang berada di Kecamatan
Babussalam, Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh.
Menurut Iwabuchi (1994:10) Sejarah
raja yang pertama sekali bermukim di Tanah Alas terdapat di desa Batumbulan dikenal
dengan nama RAJA LAMBING, yaitu keturunan dari RAJA LONTUNG atau dikenal
dengan cucu dari GURU TATEA BULAN dari Samosir, Tanah Batak. Tatea Bulan adalah saudara kandung
dari RAJA
SUMBA. Guru Tatea Bulan
mempunyai lima orang anak, yaitu Raja Uti, Saribu Raja, Limbong, Sagala, dan
Silau Raja. Saribu Raja adalah
orang tuanya Raja Bor Bor dan Raja
Lontung.
Raja Lontung mempunyai sembilan anak, yang dikenal dengan “Lontung
Sia Sisada Inang”, yaitu: tujuh orang anaknya laki-laki, yakni: Sinaga,
Situmorang, Pandiangan, Nainggolan, Simatupang, Aritonang, dan Siregar
yang dikenal dengan sisampunen, siampuan atau payampulan. Pandiangan merupakan monyangnya Pande,
Suhut
Nihuta, Samosir, Pakpahan, Gultom (Sampagul), Harianja,
Sitinjak,
SOLIN
di Dairi, SEBAYANG di Tanah Karo dan SELIAN di Tanah Alas dan Kluet. Kemudian dua anak Raja Lontung perempuan,
yang pertama kawin kepada Marga Sihombing
dan yang ke dua kepada Marga Simamora. Sihombing dan Simamora dikenal dengan Boru
ke tujuh anak laki-laki Raja Lontung di atas. Penulis dan keluarga sudah sering berkunjung
ke Toga Pandiangan dan biasa menginap di Desa Urat, Kecamatan Palipi, Kabupaten
Toba Samosir Tahun sejak tahun 2004.
Raja Lambing adalah monyang dari marga Sebayang
di Tanah Karo dan Selian di Tanah Alas.
Raja Lambing merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara, yaitu abangnya
tertua adalah Raja Batuha di Dairi, dan nomor dua adalah Raja Enggang yang
hijrah ke Kluet (Aceh Selatan), keturunan dan pengikutnya adalah marga Pinem
atau Pinim). Kemudian Raja Lambing
hijrah ke Tanah Karo dimana keturunan dan pengikutnya adalah marga Sebayang
dengan wilayah kemukimannya mulai dari Tiga Binanga hingga ke Perbesi dan
Gugung, Kabupaten Karo.
Setelah kedatangan Raja Lambing KE
Tanah Alas, kemudian menyusul lagi Raja Dewa, yaitu pembawa ajaran Islam
perdana yang termasyhur ke Tanah Alas, dimana beliau menjadi suami putri
kandung Raja Lambing. Kemudian Raja
Lambing menyerahkan tahta kerajaannya kepada menantunya, Raja Dewa yang dikenal
juga dengan nama Malik Maulana Ibrahim (Ismail, Informan, 2003). Bukti situs sejarah kerajaan ini masih
dikunjungi berbagai pejiarah dalam dan luar negeri, yaitu Perkuburan Datuk Raja
Dewa/Malik Maulana Ibrahim, berlokasi di muara Lawe Sikap, desa
Batumbulan. Raja Dewa mempunyai seorang
putra yang diberi nama Alas yang terakhir menjadi seorang
Raja di Tanah Alas. Kemudian setelah menerima
tahta Kerajaan dari orang tuanya Raja Dewa, seluruh wilayah ini menjadi
kekuasaan Raja Alas, siapapun yang hendak bermukim dan menggarap lahan di ”Tanahnya
si Alas” tentunya harus seizin Alas sebagai seorang penguasa
Negeri. Karena luasnya kekuasaan
wilayahnya, maka pihak luar Aceh Tenggara memberi nama tujuan (destination)
Tanah Alas, lalu nama inilah dikenal
hingga sekarang menjadi nama Orang/Suku Bangsa Alas (The People of The Alas Valley), Suku Alas, atau Tanah Alas atau
Alas land, bahkan sungai yang mengaliri daerahnya diberi nama Lawe Alas (Kali
Alas-red)
dan hamparan daerahnya juga dikenal dengan Lembah Alas (Alas Valley). Keturunan Raja Alas hingga tahun 2000 ada
yang bermukim di berbagai wilayah, baik di tanah Alas, ibu kota Propinsi Aceh
(Banda Aceh), Medan, Malaysia, maupun tempat lainnya (Encyclopaedisch Bureau,
1916:119; Iwabuchi, 1994:10-15; Kreemer, 1923:243-244; Rahman, Informan, 2003;
Jibun, Informan 1998).
Berdasarkan temuan data tersebut di
atas, maka jelas bahwa nama Alas bukan berasal dari sebutan berbagai etnis di
Nusantara. Misalnya, karena Tanah Alas
dikelilingi bukit/gunung-gunung artinya dalam bahasa Jawa adalah Alas, karena
di hamparan ini banyak Talas, maka disebut wilayah ini menjadi Alas, atau
daerah ini merupakan lembah yang rendah maka dalam kata Melayu disebut Alas,
karena merupakan hamparan luas maka disebut Alos (tikar) menurut etnis Gayo.
Namun penamaan dalam berbagai bahasa etnis di di atas ternyata tidak dapat
dipublikasikan secara ilmiah, malah sangat sulit dipertanggungjawabkan secara
akademik.
Diperkirakan pada akhir abad 12, Raja
Lambing hijrah dari Tanah Karo ke Tanah Alas, dan bermukim di Desa Batumbulan,
keturunan dan pengikutnya adalah Marga Selian.
Ada hal yang menarik perhatian dari kesepakatan antara putra Raja
Lambing (Raja Adeh, Raja Kaye dan Raja Lele) dengan Putra Raja Dewa (Raja Alas)
bahwa syi’ar Islam yang di bawa oleh
Raja Dewa diterima oleh seluruh kalangan masyarakat Btak Alas, tetapi adat istiadat Batak Alas yang dipunyai
Raja Lambing tetap dipakai bersama (Rahman, Informan, 2003; Ismail, Informan,
2003; Jibun, Informan, 1998). Ringkasnya
adalah “hidup dikandung adat, mati dikandung hukum (Islam)”. Oleh sebab itu jelas bahwa assimilasi adat
istiadat dengan ajaran Islam dalam kebudayaan suku Batak Alas telah berlangsung
sejak ratusan tahun lalu. Sebelumnya Raja
Adeh mempunyai keturunan Selian dan pengikutnya di Kertan (Kecamatan Badar dan Kecamatan
Darul Hasanah), Raja Lele adalah monyangnya Selian dan pengikutnya di Engkeran
(Kecamatan Lawe Alas dan sekitarnya), dan Raje Kaye adalah Monyangnya Orang Selian
Batumbulan dan Pengikutnya, sekarang Kecamatan Babussalam dan sekitarnya
(Jibun, Informan, 1998; Rahman, Informan, 2003, dan Ismail, Informan, 2003). Tarombo Raja Lambing di Tanah Alas hingga
tahun 2000, telah mempunyai keturunan ke 26 yang bermukim tersebar di tanah
Alas (Encyclopaedisch Bureau, 1916:118; Effendy, 1960:36; Sebayang 1986:17;
Ismail, Informan, 2003).
Pada awal kedatangannya, Datuk Raja
Dewa atau Malik Ibrahim migrasi melalui pesisir bagian Timur Aceh (Pasai)
sebelum ada kesepakatan di atas, ia masih memegang budaya maternalistik dari
Minang Kabau, sehingga putranya Raja Alas, sebagai pewaris kerajaan, mengikuti
garis keturunan dan marga pihak ibu yaitu Selian. Setelah Raja Alas menerima asimilasi adat
istiadat yang dibawa oleh Raja Lambing dengan ajaran Islam, maka sejak itulah mulai menetapkan
keturunannya mengikuti garis keturunan ayah (paternalistik). Raja Alas dikenal pula sebagai pewaris
kerajaan, disamping kekayaan harta tanah ayahnya dan yang diperoleh dari
kakeknya Raja Lambing (Sebayang, 1975:73).
Sejak itulah diperkirakan daerah
ini dikenal dengan sebutan nama Tanah Alas (Tanah Alas), Tanah artinya
permukaan bumi yang terbatas, ditempati suatu bangsa/suku/clan yang diperintah
dalam suatu negeri/wilayah dan mendapat pengakuan dari publik (Kamus Besar
Bahasa Indonesia, 2001: 1132-34).
Menurut Iwabuchi (1994:11), akhirnya,
kakek Raja Alas (Raja Lambing) migrasi lagi ke Kluet (Aceh Selatan) untuk
mencari abangnya yang nomor dua, yaitu Raja Enggang. Raja Lambing di Kluet juga mempunyai
keturunan dan pengikutnya dikenal dengan marga Selian serta ia menghembuskan
nafas terakhir dan makamnya berada di
Deleng Puntung, desa Icing Manuk, yaitu diperkirakan antara Lawe Sawah dan Lawe
Manggamat sekarang (Rahman, Informan, 2003; Ismail, Informan, 2003; Jibun,
Informan, 1998). Oleh sebab itu banyak
keturunan dan pengikutnya berkembang di Kluet.
Sebagian mereka sudah kembali lagi ke Batumbulan (Aceh Tenggara) dan
sekitarnya, bahkan sebaliknya dari Batumbulan juga ada yang hijrah ke Lae
(Lawe) Sawah, Paya Dapur, Kota Pajar, Manggamat dan sekitarnya di Kluet. Mereka bermukim di wilayah ini diperkirakan
sejak awal abad ke 13 yang lalu
(Effendy, 1960:36 Encyclopaedisch Bureau, 1916:118-9; Akbar, 2010-b; Akbar,2005).
Beberapa data menyebutkan bahwa setelah
kehadiran Selian di Batumbulan, muncul lagi kerajaan lain yang dikenal
dengan marga Sekedang yang basis wilayahnya meliputi Bambel hingga ke Lawe
Sumur dan sekitarnya. Raja Sekedang ini menurut
beberapa informasi dan data yang ditemukan pada awal kehadirannya ke Tanah Alas
adalah mencari Ayahnya, yaitu Raja Dewa
yang migrasi ke Tanah Alas. Raja Marga Sekedang datang ke Tanah Alas
diperkirakan pada pertengahan abad ke 13, yaitu bernama Nazaruddin yang dikenal
dengan panggilan Datuk Rambat yang datang dari Pasai. Pendatang berikutnya semasa Raja Alas adalah
kelompok Megit Ali dari Aceh Pesisir dan keturunannya berkembang di Biak Muli dan
sekitarnya, yang dikenal dengan marga Bekhuh (Beruh). Lalu terjadi migrasi berikutnya yang
membentuk beberapa marga, namun mereka tetap merupakan pemekaran dari penduduk
Batumbulan (Iwabuchi, 1994; Akbar, 2010-c:3).
Penduduk Batumbulan mempunyai beberapa kelompok atau marga (clan dan
sub-clan). Marga tersebut meliputi Pale Dese yang bermukim di bagian barat laut
Batumbulan, yaitu Terutung Pedi, lalu hadir kelompok Selian, datang Kelompok
Sinaga (Sinage), Keruas, dan Pagan.
Disamping itu bergabung lagi marga Munthe, Pinim (Pinem), Karo-karo, dan
Terigan (Tarigan).
Marga Pale Dese merupakan penduduk
yang pertama sekali menduduki Tanah Alas Iwabuchi, 1994; Akbar, 2010-a), namun
tidak punya kerajaan yang tercatat dalam sejarah(Akbar, 2010-b:3). Kemudian hadir pula Deski yang bermukim di
kampung Ujung Barat (sekarang masuk dalam wilayah Batumbulan II).
PENYEBARAN BANGSO BATAK
ALAS DI TANAH ALAS
Penyebaran Bangso Batak Alas yang
berdomisili di desa (Kute) Batumbulan sebagai wilayah asal muasal penyebaran
Batak Alas menurut hasil penelitian Iwabuchi yang dicatat oleh Daalen sejak
1904 -1907 adalah: Lawe Pangkat, tenembak Alas, Gusung Batu, Pulonas, bagian
dari Mbarung (Ujung Barat), Perapat, Cane Keretan, Pulogang/Tambunan, Kute
Tinggi, Deleng Megakhe (Tanah Merah), Mbornut, Batin, Gulo, Kute Pasir (Kampung
Raja), Muara Lawe Bulan, Kuta Lenge, Telage Mekar, Penumbukan, Kute Batu, Lawe Rutung, Itam
Mencawan ni Tualang, Kute Gerat, Lawe
Sumur, Kandang Mbelang, Batumbulan
Mbaru, Lawe Pio, Lawe Perlak, Ntualang Sembilar. Pemekaran Batumbulan ke arah utara adalah
Rambung Teldak, bagian dari Natam, Lawe Gerger, Jongar, Pengeparan, dan
Cingkam. Kemudian pemekaran Batumbulan
ke Kembang Kertan adalah Kute Rambe, Kute Buluh, Kute Ujung, Kute Mesung, Lawe
Pungge, Lawe Bekung (Salang). Kemudian
pemekaran ini berlanjut ke Kute Lengat Mbaru (bagian Terutung Pedi), Gulo, Paye
Munje, dan Kute Lengat. Kemudian ke
Terutung Pelariken, Ntualang, Terutung Buluh (Kute Buluh), Kute Rih, dan
Tenembak Langlang. Kemudian berkembang
lagi ke arah Barat daya, yaitu Ngkeran, Lawe Kongkir, Rumah Luar, Paye Munje,
Terutung Payung, Kute Genting Muara Baru,
Pulo Tebu, Pulo Latong, Kute Mbaru, Terutung Pilun, Penampaan, dan
beberapa desa lagi berkembang akhir-akhir ini, misalnya Lak-lak (dusun Aunan)
di Kecamatan Badar, Kute Lengat Marpunge di Kecamatan Blangkejeren, Kuta Tengah
(Kecamatan Lawe Sigala-Gala), Lawe Sempilang,
Liang Pangi (Kecamatan Lawe Alas), dan lain-lain yang belum
diinventarisir.
Berdasarkan fakta sejarah dari
berbagai literatur hasil penelitian di atas bahwa kerajaan di Tanah Alas yang
tertua berada di Batumbulan dan merupakan basis pemekaran serta cikal bakal
lahirnya nama Tanah Alas. Oleh sebab itu
dapat dimaklumi bahwa secara asas hukum adat dan ethnologis maka berlaku teori receptio
in complexu dan istilah Gods dientige Wetten yang kemudian
berubah menjadi Adatrech (Djunet, 1992:7-8).
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka Batumbulan adalah merupakan
wilayah kerajaan tertua dan asal muasalnya adat-istiadat Batak Alas dan pusat
pengembangan syi’ar Islam di Tanah Alas tempo doeloe.
MARGA-MARGA SUKU BATAK ALAS
Menurut Zainuddin (1961:187; Akbar,
2010-a:5); bahwa adapun marga yang tertua di kalangan
Bangso Batak Alas adalah 28 marga, dengan urutan (sesuai susunan abjad) adalah
Marga Bangko, Cibro, Desky, Keling, Pale Dese, Keruas, Pagan, dan Selian. Kemudian hadir lagi marga Acih, Beruh, Gale, Kekaro (Karo-karo), Mahe (Maha),
Menalu (Manalu), Mencawan, Munthe, Sinage (Sinaga), Pase, Pelis, Pinim (Pinem),
Ramin, Ramud, Sambo, Sekedang, Sugihen, Sepayung (Sipayung), Sebayang, dan
marga Terigan (Tarigan).
Atas dasar etiologi kehadiran berbagai
etnis di Tanah Alas, maka jelas tidak ada satu orangpun orang Batak Alas yang
berdiri sendiri secara independen ibarat tumbuhnya cendawan dimusim hujan. Oleh karena itu etnis Batak Alas sejak
monyang terdahulu hingga sekarang adalah pendatang. Namun kedatangan mereka ada yang lebih awal
hadir, yang datang kemudian, dan ada yang baru hadir dan bermukim di Tanah
Alas. Sehingga wajar penduduk di Tanah
Alas merasa senasib-sepenanggungan serta sama-sama pendatang ke daerah ini,
termasuk penulis sendiri walaupun asli penduduk Batumbulan, namun harus diakui moyangnya adalah imigran
tempo doeloe.
ADAT ISTIADAT BATAK ALAS, PENERAPAN DAN LANDASAN
HUKUMNYA
Seperangkat nilai-nilai kenyakinan
sosial yang tumbuh dan berakar dalam kehidupan masyarakat tertentu disebut dengan adat istiadat. Keragaman adat istiadat di Aceh merupakan
kekayaan yang berharga bagi ummat, salah satu diantaranya adalah adat Batak Alas. Keberadaan adat Alas telah memberikan
sumbangan dalam mengatur kehidupan masyarakat secara turun temurun di Lembah
Alas. Berdasarkan Undang-undang Nomor 44 tahun 1999, tentang penyelenggaraan
Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan Perda Nomor 7 tahun 2000,
tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat maka sudah pasti Pemerintah telah
mengakui keberadaan adat Aceh, termasuk adat Batak Alas yang tidak lapuk dihati
khang Alas (orang Alas). Pengakuan
Pemerintah tersebut di atas menunjukkan betapa besarnya peran adat istiadat untuk difungsikan kembali
demi mewujudkan keharmonisan hidup masyarakat Aceh pada umumnya dan masyarakat Batak
Alas pada khususnya. Adat istiadat
Batak Alas berlandaskan “Adat Bak Po teu Meureuhom, Hukom bak Syiah
Kuala, Kanun bak Putro Phang, Resam bak Laksamana, Hukum ngon Adat lagee Zat
ngon Sifeut”. Sehubungan dengan
maksud tersebut di atas, maka penyelenggaraan kehidupan adat di Tanah Alas
diatur dalam suatu Peraturan Daerah, yaitu Qanun Nomor: 24 Tahun 2000 (Akbar dan Kartini, 2006).
Pemulihan pemberlakuan hukum adat
berdasarkan peraturan perundang-undangan resmi dari Negara kepada masyarakat
adat di Propinsi Naggroe Aceh Darussalam (NAD), khususnya masyarakat adat Batak
Alas, yaitu merupakan upaya secara langsung membantu Pemerintah untuk
menyelesaian tindak pidana adat secara tuntas dan memuaskan masyarakat adat di
luar Pengadilan Negeri. Justru itu
peraturan adat setempat jauh lebih dihormati oleh masyarakat adat ketimbang
hukum warisan kolonial Belanda yang masih berlaku di Tanah Air ini. Dengan demikian keadaan di Aceh mendatang,
khususnya masyarakat adat Batak Alas di Kabupaten Aceh Tenggara, mirip dengan
penegakan hukum di Manhattan, State of Kansas, Amerika Serikat (USA), di mana Kota Penulis menyelesaikan Sudi, yaitu
pemberlakuan hukum lokal (State
regulations enforcement), mirip dengan budaya regulasi lokal masyarakat Midwest. Karena hukum lokal yang begitu mendarah
daging dan tetap hidup dalam masyarakat, maka timbul hipotesis bahwa
sifat-sifat kepatuhan terhadap regulasi di kalangan keluarga diwariskan secara
genetika kepada anak-anak mereka.
Terbukti bila ada pelanggaran terhadap regulasi di USA, individu atau
masyarakat akan segera melaporkan kepada pihak berwajib lewat telepon khusus
911 (nine-one-one). Kepatuhan terhadap
regulasi tentu ada sebabnya, yaitu para saksi sangat dilindungi kerahasiaan
pelaporannya oleh Pemerintah Federal dan diberikan insentif ratusan hingga
ribuan Dollar setiap laporan pertama dari saksi terhadap kasus tindak
pidana. Tentu seluruh masyarakat
menjadi “polisi” yang membuka tabir tindak pidana sesuai regulasi setempat
membatu penegak hukum di USA (Black, 1990).
Ada kemiripan penerpan hukum adat di
USA di atas dengan halnya hukum masyarakat adat Batak Alas, hingga kini tetap
hidup dan unik, dimana sipelapor selalu dirahasiakan serta mendapat
perlindungan adat disamping memperoleh hak adat dari pengabdiannya. Hal inilah masih berlaku dalam masyarakat
adat Batak Alas. Hukum adat dalam
masyarakat Batak Alas mengatur tatanan kehidupan masyarakat sejak ratusan tahun
lalu, sehingga dikenal istilah pelanggaran adat, sanksi, dan denda tindak
pidana adat. Pelanggaran adat dalam kehidupan masyarakat Batak Alas sangat
tidak dibenarkan. Namun bila terjadi
pelanggaran, maka dapat diselesaikan di luar pengadilan Pemerintah. Sehingga dalam penyelesaian tindak pidana
adat Batak Alas mengacu pada Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 dan Perda (Qanun)
Nomor 7 Tahun 2000, Pasal 10 menegaskan bahwa “Aparat penegak hukum memberi
kesempatan terlebih dahulu kepada Geuchik (Penghulu) dan Imum Mukim untuk
menyelesaikan sengketa-sengketa/perselisihan di Gampong/Mukim masing-masing”. Pada Pasal 11, ayat (1) berbunyi “Keuchik berwenang untuk menyelesaikan
perselisihan persengketaan/permasalahan yang terjadi di Gampong (Desa), baik masalah-masalah
dalam keluarga, antar keluarga, dan
masalah-masalah sosial yang timbul di masyarakat dalam suatu Rapat Adat Gampong
(desa)”, dalam hal ini Rapat Adat Batak Alas. Pada ayat (2) menegaskan “Apabila dalam jangka waktu 2
(dua) bulan perselisihan tersebut tidak dapat diselesaikan di Gampong atau para
pihak yang bersengketa tidak dapat menerima keputusan adat tingkat Geuchik,
maka perselisihan sengketa tersebut diselesaikan oleh Imum Mukim dalam rapat
Adat Mukim”. Pasal 14 ayat (2)
menegaskan bahwa “Para pihak yang tidak mengindahkan keputusan adat pada tingkat Geuchik
atau Imum Mukim, ia akan dikenakan sanksi adat yang lebih berat oleh
karena merusak kata kesepakatan dan mengganggu keseimbangan yang hidup dalam
masyarakat”. Pasal 15 ayat (1) menegaskan
bahwa “Dalam jangka waktu 1 (satu) bulan Imum mukim tidak dapat menyelesaikan
atau para pihak yang berselisih/bersengketa merasa tidak puas terhadap
keputusan adat tingkat Mukim, maka ia dapat mengajukan perkaranya kepada aparat
penegak hukum (Polisi). Pasal
yang sama pada ayat (2) ”Keputusan adat yang telah dijatuhkan kepada
pihak-pihak yang bersengketa dapat dijadikan salah satu pertimbangan oleh
aparat penegak hukum dalam menyelesaikan perkara.
Pasal 24 berbunyi “Aparat Pemerintah yang berasal dari luar
daerah dan bertugas di Aceh, khusunya di Tanah Alas, harus mempelajari dan
menghormati dasar-dasar adat Alas dan nilai-nilai yang hidup di
tengah-tengah masyarakat adat”.
Tata cara dan syarat-syarat penyelesaian perselisihan/persengketaan, dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan adat di masing-masing daerah, dalam hal ini secara Adat
Batak Alas. Sebagai pedoman penyelesaian
pelanggaran adat sudah diterbitkan buku “Sanksi dan Denda Tindak Pidana Adat
Alas”, tahun 2001 dan edisi kedua dicetak ulang tahun 2004.
MIGRASI BATAK TOBA KE
TANAH ALAS
PADA ZAMAN KOLONIAL BELANDA 1909-1914
Pemerintah Kolonial Belanda dikenal
dengan politik De vide et imperanya dalam menguasai Nusantara. Kemudian pembukaan akses transportasi untuk
mobilitas hasil bumi dan kekayaan alam yang mereka eksplorasi sangat
diutamakannya. Akses
transportasi yang dimaksud meliputi pembangunan jalan baru dari Sumatera Timur
ke Tanah Alas (1909-1914). Sehingga
memudahkan migrasi antar suku berikutnya, antara lain Melayu Deli dari Sumatera
Timur, Batak Toba dari Samosir dan sekitarnya.
Termasuk dari Angkola, Sipirok, Batak Timur Raya, Simalungun, Karo,
Pakpak, Mandailing, Singkil dan lain-lain (Gayo, 1983). Disamping sebagai serdadu Nica Belanda,
banyak pekerja dan buruh membuka jalan dibawa dari Jawa, Menado, Batak Toba,
dll, sampai saat ini telah berketurunan
di Aceh Tenggara. Mereka inidi duga
menjadi sumber informasi bagi orang Batak Toba dan suku lainnya untuk datang di
kemudian hari ke Tanah Alas.
Migran Batak Toba
sesampainya di Tanah Alas tentu harus melapor dan umumnya tinggal di Batumbulan.
Raja Batumbulan saat itu, Haji Sidon, yaitu abang sepupu Raja Haji Durasa
alias Wan Ampuk. Beliau memerintahkan
kepada pendatang Batak Toba membuka persawahan dan diharapkan menjadi contoh
bagi Batak Alas dalam bercocok tanam. Berita
tentang Tanah Alas semakin tersebar di kalangan petani Batak Toba di Samosir
dan Tapanuli, maka secara berangsur-angsur mereka memasuki Tanah Alas yang
subur.
Petani Batak Toba
sekitar tahun 1920-an semakin ramai datang untuk mendapatkan tanah, umumnya
mereka terlebih dahulu membayar uang adat dan mendapatkan surat izin dari
Keujeuruen sesuai adat Batak Alas yang dikenal ”Secawan Ngkahe, Secawan Ngkolu”.
Dengan kejelasan menyelesaikan uang
adat untuk mendapat lahan subur, maka
dalam tahun 1922 diperkirakan sudah tidak kurang dari 148 Kepala Keluarga
yang menetap di Tanah Alas di bawah kepemimpinan Raja Haji Sidon.
Setelah
berakhir kekuasaan Raja Haji Sidon (sakit dan meninggal dunia) pada zaman
penjajahan Belanda, dimana sebenarnya penduduk Batak Alas merupakan ”pemilik lahan”
yang sangat subur di Lembah Alas. Mengetahui informasi tersebut, migran Batak Toba sangat
tergiur dengan lahan subur ini untuk pertanian.
Sebab tanah di Samosir dan Tapanuli sangat kurang menjanjikan untuk
kehidupan pertanian tradisional. Tidak
seperti masa kekuasaan Raja Sidon, kemudian Batak Toba bersemangat menggarap lahan pertanian yang masih merupakan pinjaman
dari Raja atau Kejeureun Bambel, Haji Durasa Selian (Marga Selian adalah
anaknya Pandiangan, red) atau dikenal dengan Raja Wan Ampuk. Semasa Raja Wan Ampuk (Penduduk Batumbulan
Asli, red), tidak dikenakan uang adat
garapan atas tanah seperti pada masa Raja Sidon kepada siapa saja pendatang di
Tanah Alas, oleh sebab itu pendatang Batak Toba lebih senang dan umumnya
tinggal di Batumbulan, dan mereka adalah pekerja keras karena kemudahan,
sehingga kehidupan mereka relatif lebih baik dibandingkan penduduk setempat,
Batak Alas. Lahan-lahan yang diserahkan Raja
Wan Ampuk diantaranya Mura Keminjin, Deleng Megare dan Jambur Lele (Tanah Merah)
kepada keluarga Pakpahan, dan Pasaribu Cs.
Selanjutnya diberikan ratusan Hektar kepada keluarga Sianturi dan
Situmeang Cs. di Buluh Biang (Paranginan), sekarang di Kecamatan Badar. Selanjutnya Raja Wan Ampuk memberikan
ratusan hektar kepada keluarga Haji Siregar,
Harahap, Situmorang, Simamora Cs. Dari Tapanuli Selatan di Kampung Melayu,
Maracar, Kuta Batu dan Simpang Semadam.
Untuk Keluarga Aruan, Aritonang, Tampubolon, Siregar dan Sinaga Cs
diberikan di Lawe Petanduk, Lawe Sigala, Lawe Desky, Kandang Belang, Kampung
Nangka, Lawe Ponggas, Bunga Melur, Kuta Pengkih. Titipanjang diizinkan menjadi
lahan Sibarani Cs, tanpa membayar uang adat.
Untuk kelarga Silaban, Sitohang, Simanjuntak, Siagian, Hutauruk,
Sihombing Cs diberikan lahan di Lawe Bekung, Rukahan, Simpang Tiga Rantodior
(Tanah Milik pribadi Wan Ampuk) hingga
ke batas kebun Rutung Tenembak Bahu (sekarang Desa Kati Jeroh-red).
Sekitar
tahun 1932, Pemerintah Belanda menilai bahwa kehidupan rakyat sudah membaik, saatnya
mulai ditetapkan penarikan pajak walaupun kehidupan yang sudah jauh lebih baik
itu sebenarnya adalah umumnya migran Batak Toba, maka Keujeuruen Bambel, Haji
Durasa (Wan Ampuk) diperintahkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda harus mengutip
blasteng (pajak), walaupun waktu itu dalam keadaan musim pacikelikt (Ginting,
2003; Akbar, 2003; Jibun, Informan, 1998).
Namun terjadi kontroversi, maka untuk mengurangi penderiataan rakyat, Raja
Wan Ampuk tidak bersedia mengutipnya, malah menampar muka seorang pimpinan dari
Pemerintah Belanda (Sebayang, 1986; Ismail Informan,2003, Rahman, Informan,
2003). Kesalahan Wan Ampuk dimata
Pemerintah Kolonial Belanda adalah karena tidak mau menarik blasteng dari
penggarap, baik Batak Toba maupun Batak Alas atas tanah garapan mereka,
walaupun akhirnya seluruh penggarap Batak Toba dan Batak Alas harus membayar
blasteng tanah kepada Belanda, atau memulangkannya kepada Raja atau
dikosongkan, tidak boleh diusahai lagi. Akibat melawan pihak Belanda dengan tuduhan
penganiayaan (menampar), maka Raja Wan Ampuk ditangkap dan dipenjarakan di
Nagari, Kabanjahe (Ginting, 2003; Rahman, Informan, 2003). Kemudian diadili di Medan (Ismail, Informan,
2003). Keputusan hukuman dari hakim
Belanda pada tahun 1936 adalah Raja Wan Ampuk dan keluarganya di berikan
pilihan harus pindah ke Batavia (Jakarta) atau semenanjung Malaya (Malaysia)
dan diberikan ongkos naik Haji atas biaya Pemerintah, maka Raja Wan Ampuk memutuskan
untuk berdomisili dan pindah ke Alor Setar, Kedah, Malaysia. Dan kini sebagain besar keturunannya yang
berpendidikan berdomisili di Kota Kedah dan Petaling Jaya Kuala Lumpur
(Iwabuchi, 1994; Annonimus, 1968;, Sebayang, 1986, Latief, 1995, Akbar dan Sri
Kartini, 2006; Gayo, 1982; Ya’cob Pagan, Informan,2003).
Sensus Tahun
1968 dalam lima Kewedanaan di Tanah Alas dan Gayo Lues berpenduduk sebanyak 110.521
jiwa dimana lebih kurang orang Batak Alas adalah 45%, Batak Toba 35%, suku
lainnya: Gayo, Batak Karo, Batak Mandailing, Singkil, Aceh, Minangkabau dan
Jawa kira-kira 20% (Annonimous, 1968-2).
Hasil Sensus
pada Tahun 2004, jumlah penduduk Aceh Tenggara adalah 169.409 jiwa, dimana Batak
Alas lebih kurang 55%, Batak Toba lebih kurang 17% dan Gayo sekitar 14%,
selebihnya adalah suku bangsa Batak Karo, Batak Mandailing, Batak Pakpak,
Minangkabau, Aceh, Singkil, Jawa dan termasuk Nias di Kecamatan Leuser dan
sekitarnya.
MENGAPA BATAK ALAS DAN BATAK TOBA BISA HIDUP BERDAMPINGAN
Sebelum kemerdekaan RI, secara umum suku Batak Alas tidak
menuliskan marga pada akhir namanya, hal ini diduga disebabkan salah satu oleh
adanya politik Pemerintah Hindia Belanda yang memecah belah rakyat di Aceh
memalui propaganda Agama dan pengucilan etnis/marga tertentu yang dikenal
dengan devide et impera (Gayo, 1983;
Annonimous, 2003-3). Bentuk devide et
impera yang dimaksud adalah berupa perkataan yang saling merendahkan martabat
dan harga diri masing-masing suku bangsa kita, kerap diperdengarkan orang-orang
tempo doeloe kepada generasi yang lebih muda, misalnya:
1. Orang Jawa Makan Kutu;
2. Orang Alas Pemalas;
3. Orang Minang/Padang Pancilok
(Pencuri);
4. Orang Aceh Peungeut (Penipu);
5. Orang Ambon Penghianat Bangsa (Menjadi
serdadu dan pesuruh Penjajah Belanda menghancurkan Bangsa)
6. Orang Batak Makan Orang.
Mirip dengan politik “devide et
impera” pada zaman pemerintahan kolonial Belanda dia atas, ungkapan
pejabat/Gubernur Aceh, Hibrahim Hasan, Kepala Pemerintahan Aceh pada zaman Orde
Baru, sering disampaikan dalam pidatonya untuk istilah metapfora (Echols
dan Shadily 1983:379) beberapa kabupaten di Aceh karena keterbelakangan dan
nasib wilayah dan penduduknya adalah lebih kurang, yaitu:
1. Aceh Tenggara, Aceh Sengsara;
2. Aceh Tengah, Aceh Terengah-engah;
3. Aceh Selatan, Aceh Ketelatan;
4. Aceh Barat, Aceh jembatan getek tambat
atau Aceh Terlambat;
5. Aceh Utara, Aceh Terlunta-lunta
(Penduduk pindah karena pembebasan lahan proyek vital);
6. Aceh Pidie, Aceh mau berdiri sendiri
(Merdeka);
7. Aceh Timur, Aceh tak makmur-makmur.
Adanya
tali persaudaraan dari keturunan Guru Tatea Bulan, Raja Sumba dan Raja Lontung
seperti yang telah diutarakan sebelumnya, Batak Alas yang bermagra Selian
adalah keturunan Marga Pandiangan, yaitu anak ketiga dari Raja Lontung, dimana juga
ternyata mayoritas Batak Alas di Aceh Tenggara adalah Marga Selian. Sedangkan untuk Anak Raja Lontung tertua
adalah Sinaga, mereka secara adat cukup dekat dengan Selian hingga kini.
Walaupun tidak atas dasar satu
tarombo, Batak Alas sudah banyak sekali berkerabat dengan Batak Toba melalui tali
perkawinan. Salah satu contoh kekerabatan
akibat perkawinan antara Batak Alas dengan Batak Toba (keturunan Raja Lontung/Raja
Wan Ampuk (marga Selian Pandiangan), Desa Batumbulan, Kecamatan Babussalam,
Kabupaten Aceh Tenggara) adalah seperti sampel pada Tabel 1 berikut ini:
Tabel 1. Perkawinan Batak Alas Keturunan Raja Lontung ke III, Marga Selian Pandiangan dengan Batak Toba di Desa Batumbulan,Kecamatan Babussalam Kabupaten Aceh Tenggara.
No
|
NAMA
BANGSO BATAK ALAS
|
NAMA
BANGSO BATAK TOBA
|
ALAMAT/DESA
ASAL
MARGA
SELIAN
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
|
Amrin Selian , SE, SH.
Safrijal Selian , SP.
Zeini Selian
Samsuariadi Selian
Satudin Selian
Senter Selian
Ummi Br.
Selian
Nasir Selian
Ratnawaty Br. Selian
Juwiriah Br. Selian
Satujal Br. Selian
Hasanuddin Selian
Gordeng Selian
Djamuddin Selian
Hasbi Selian
Butet Br. Selian
Jakaria Selian
Japarin Selian
Sahadun Dewar Selian
Adenan Selian
Dahlan Selian
|
Nursaidah,SE
Br. Simanjuntak
Hadijah
Br. Pakpahan
Ira Br.
Sitompul
Murniati
Br. Siahaan
Ranianna
Br. Pasaribu
Rasidah
Br. Bukit
Rizal
Nasution
AB. Br.
Sianturi
Arifin
Sinaga
Kamisan
Sinaga
Baharuddin
Sinaga
Salbiah
Br. Siregar
Madina Br.
Siregar
B. Br.
Aruan
A. Br.
Simanjuntak
Sukri
Sitompul
P. Br.
Harahap
K. Br.
Simatupang
Nelawati
Br. Siregar
Yusrina
Br. Daulai
Riama Br.
Malao
|
Batumbulan, Aceh Tenggara
Batumbulan, Aceh Tenggara Batumbulan, Aceh Tenggara Batumbulan, Aceh Tenggara Batumbulan, Aceh Tenggara Batumbulan, Aceh Tenggara Batumbulan, Aceh Tenggara Batumbulan, Aceh Tenggara Batumbulan, Aceh Tenggara Batumbulan, Aceh Tenggara Batumbulan, Aceh Tenggara Batumbulan, Aceh Tenggara Batumbulan, Aceh Tenggara Batumbulan, Aceh Tenggara Batumbulan, Aceh Tenggara Batumbulan, Aceh Tenggara Batumbulan, Aceh Tenggara Batumbulan, Aceh Tenggara Batumbulan, Aceh Tenggara Batumbulan, Aceh Tenggara Batumbulan, Aceh Tenggara
|
Sumber: Dr. Thalib Akbar,
MSc., Data Primer, Hasil Penelitian 2010.
Adat-istiadat merupakan alat pemersatu
antar ummat beragama di Aceh Tenggara, misalnya kerukunan Ummat Islam sebagai
penduduk Desa Batumbulan di atas dengan Ummat Nasrani di berbagai desa se Aceh
Tenggara. Dalam Adat-istiadat Bangso
Batak Alas, bahwa orang tua Istri, yaitu mertua, saudara, dan sanak familinya (extended family) harus di hormati
sekali oleh Suami, orang tuan suami, dan sanak saudara semarga, termasuk
saudara-saudara suami yang lain baik semarga, maupun karena adanya hubungan
perkawinan dengan marga lain. Karena
dalam hal ini Suami adalah menjadi Anak Beru (Pedeberunen), sedangkan
pihak orang tua si Istri sebagai perbesanan yang menjadi Hula-hula
dalam tutur Bangso Batak Toba di Aceh Tenggara (Anonimous, 1988-1; Djunet
2002:39-40). Umumnya Bangso Batak Alas, baik laki-laki
maupun perempuan, yang kawin dengan Bangso Batak Toba adalah harus satu akidah,
yaitu Islam. Memang unik, dalam pesta
adat, bagi Muslim makannya dalam pesta terpisah dengan makan Non-muslim
(Kristiani), namun satu kebersamaan adalah sama-sama bersatu menggelar
adat-istiadat dalam pesta itu. Demikian
pula beribadah, bagi ummat Muslim melaksanakan Shalat/sembahyang, dan bagi
ummat Kristiani beribadah di gereja.
Dari data tersebut pada Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa Suku
Batak Alas sudah lama melakukan perkawinan secara Cross breeding dengan
Batak Toba. Dari 21 orang sampel Keturunan
Raja Wan Ampuk bermarga Selian Pandiangan selaku Bangso Batak Alas, baik
laki-laki, maupun perempuan telah membaur dalam perkawinan dengan berbagai keturunan
suku bangsa Batak Toba selaku pendatang dan “penggarap” lahan dari Samosir dan
Tapanuli Utara/Selatan. Sehubungan
dengan hal tersebut di atas, jelas tidak menjadi kendala dalam kehidupan
sehari-hari bagi ummat Kristiani dengan ummat muslim di Kabupaten Aceh
Tenggara, sehingga diduga hal inilah penyebab tidak mudah diadu domba oleh
pihak ketiga selama 35 tahun pergolakan konflik di Aceh. Sering diketengahkan bahwa Orang Batak
Alaspun ada yang jarang sembah walaupun
seorang Muslim, demikian pula Batak Toba tidak sedikit yang tidak mau beribadah
ke Gereja. Jadi satu sama pointnya (Ismail,
Informan, 2003; Pandiangan,
informan, 2004). Terbukti sudah beberapa
kali terjadi pembakaran Gereja dan Mesjid, namun provokasi ini tidak menyulut
perperangan antar ummat beragama, kahususnya antara Batak Alas dengan Batak
Toba di Kabupaten Aceh Tenggara.
Khusus di Aceh Tenggara, bila Agama
dimunculkan setinggi-tingginya, maka akan timbul “peperangan” antar ummat
beragama, yasitu penganut kristiani dengan Islam, namun bila adat-istiadat
dikuatkan Agama akan terus langgeng. Hal
ini telah terbukti nyata secara empiris.
Cocok pula dengan pepatah Batak Alas, “Adat bersendiken sakhak, sakhak bersendiken kitabullah”. Oleh sebab itu perlu pemahaman mendalam bagi
setiap orang Batak Alas dan Batak Toba tentang indahnya adat istiadat Batak Alas demi masa depan Aceh Tenggara dan
ketenteraman suku pendatang lainnya, mengingat Kabupaten Aceh Tenggara adalah
salah satu Kabupaten di Aceh yang paling heterogen sukunya (Melting Pot).
Data pada Tabel 1 di atas membuktikan bahwa secara harfiah dalam adat, tidak
mungkin Sdr. Safrijal Selian (No.2) memusuhi mertuanya, iparnya dari Marga
Pakpahan di Desa Alas Maracar, karena
dia adalah berstatus selaku peranakberunen
(boru/beru). Sebaliknya tidak akan terjadi
dalam adat Batak Toba bahwa Marga Pakpahan menganianya Sdr. Safrijal Selian,
mengingat putri mereka (Siti Hadijah Br. Pakapahan, No.2) telah dinikahi dan dipelihara
keluarga Sdr. Safrijal Selian di Pulo Kemiri, Desa Batumbulan, Kutacane. Demikianlah sebagian sebab musabab hubungan
kekerabatan Bangso Batak Alas sangat harmonis dengan Bangso Batak Toba akibat
perkawinan silang dan hubungan kekerabatan suku Marga di Kabupaten Aceh
Tenggara hingga akhir-akhir ini.
-------------------------oOo-------------------------------
DAFTAR BACAAN
Akbar,
2005. Perjuangan Garamata Bersama Masyarakat
Aceh Melawan Belanda: dalam Buku: Kiras Bangun (Garamata) Berjuang Melawan
Belanda di Tanah Karo (1852 – 1942), pp. 1-9.
Akbar
dan Sri Kartini. 2006. Sanksi dan Denda
Tindak Pidana Adat Alas. Cetakan 2,
Pemerintah Kabupaten Aceh Tenggara, pp. 1-24.
Akbar,
2010-a. Sejarah Masuknya Agama Islam,
Sosial Budaya, Adat Istiadat Alas dan Pemerintahan di Kabupaten Aceh Tenggara.
Makalah dipresentasikan pada Acara Seminar: Negeri Lembah Alas, “Riwayatmu Dulu dan Kini” di Hotel
Sartika, 10 Juli 2010, pp. 1-8.
Akbar,
2010-b. Penguatan Masyarakat Adat Aceh
Tenggara Ditengah Pembangunan Global. Makalah dipresentasikan pada: Diskusi
Panel Jaringan Komunitas Masyarakat Adat Aceh Tenggara, 23 Januari 2010, pp.
1-6.
Annonimous. 1988. Adat
dan Reusam Masyarakat Suku Alas dan Gayo Kabupaten Daerah Tk. II Aceh
Tenggara. LAKA, Kutacane.
Annonimous. 1968. Kabupaten
Atjeh Tenggara, Tanah Alas Gayo Luas, 1968.
Tanpa Peneribit, Tanpa halaman.
Dokumen Daerah Aceh Tenggara.
Annonimous. 2003. MusyawarahAdat
Als dan Gayo (Komisi A, Adat Alas).
Majelis Adat Aceh (MAA) Kabupaten Aceh Tenggara.
Bangkaru,
Mahmud. 1998. A Hand Book To Aceh 1998, Sumatra,
Indonesia. CV. Kharisma Putra Utama,
Pondok Bambu, Jakarta, pp. 191 – 220.
Black,
H.C.1990. Black’s Law Dictionary. Sixth Ed. St Paul, West Publishing, Minn,
pp.iii – 1657.
Daalen,
G.C.E. van. 1907. “Nota over het Alas-Land”, Tijdschrift van het
koninklijk Netherlandch Aardrijkskundig Genootschap, 2nd ser., 24:204 –
212.
Djuned,
T. Mohd. 1992. Asas-Asas Hukum Adat. Fakultas Hukum, Universitas Syiah Kuala,
Banda Aceh. pp. 1- 67.
Djuned,
T. Mohd. 2002. Hukum Adat Aceh, Gayo, dan Alas. Lembaga Adat
dan Kebudayaan Aceh, Banda Aceh, pp. 1-
53.
Echols,
J.M., Shadily, H. 1983. Kamus Inggeris Indonesia. PT. Gramedia, Jakarta.
Effendi,
Usman. 1960. Dalam “Kenang-kenangan
Musjawarah Masjarakat Alas ke I, Tanggal 7 S/D 20 Djuli 1960, di Kutacane.
Encyclopaedisch
Bureau. 1916. De buitenbezittingen: Atjeh en
Onderhoorigheden, (Mededeelingen van her bureau voor debestuurszaken der
buitenbezittingen bewerk door her Encyclopaedisch Bureau 2/2). Semarang: G.C.T.
Van Dorp.
Gayo,
M.H. 1983. Perang Gayo Alas Melawan
Kolonialis Belanda. Cetakan Pertama,
Balai Pustaka, Jakarta, pp. 13 - 210.
Hamidah. 1998.
Pergeseran Nilai Adat Mepahukh dalam Mencari Jodoh Bagi Pemuda di
Kecamatan Lawe Alas, Aceh Tenggara. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
Hadikusuma,
Hilman. 1987. Hukum Kekerabatan Adat. Fajar Agung, Jakarta.
pp.
1-157.
Isa,
Mohammad. 1960. Dalam “Kenang-kenangan Musjawarah Masjarakat
Alas ke I, Tanggal 7 S/D 20 Djuli 1960,
di Kutacane.
Iwabuchi,
A. 1994.
The People of the Alas Valley, Clarendon Pres, Oxford, Yew York, USA.
Kamus
Besar Bahasa Indonesia. 2001. Balai Pstaka, Edisi Ketiga, Pusat Bahasa,
Departemen Pendidikan Nasional, pp. Xxxii – 1386.
Kreemer, J. 1922.
Atjeh, I. Leiden:
E.J. Brill, the Netherland.
Radermacher,
J.M.C. 1781. “Beschrijving van het eiland Sumatra, dalam:
Zoo verrehetzelve tot nog toe bekend is” Verhandelingen van het Bataviasch Genootschap
van Kunsten en Wetenschappen, 3:1-89.
Sebayang
, R.K. 1986. Sejarah Sebayang Mergana. Published by the Outhor, Jalan Sei Mencirim
nomor 23, Medan.
Soekanto,
S. 1982.
Beberapa Teori Sosiologi Tentang
Struktur Masyarakat. Rajawali , Jakarta.
Zainuddin,
H.M. 1961. Tarich Aceh dan Nusantara. Medan,:
Pustaka Iskandar Muda
--------------------------------------------------------
Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 1999, Tentang Penyelenggaraan Ke-Istimewaan Daerah Istimewa
Aceh.
Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2001, Tentang Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darusalam
----------------------oo0O0oo---------------------------
Silahkan share dengan menyebutkan penulis dan penelitinya......
ReplyDeleteIni penamaan "Batak Alas" ini kita ambil dari mana pak Thalib? Jika dari silsilah raja lambing, lalu bagaimana dengan penghuni sebelum kedatangan raja lambing yg dlm tulisan bapak di atas mereka dari pesisir aceh, dan juga bagaimana dengan para migrasi2 yg lain baik dari wilayah aceh juga mancanegara yg kemudian menjadi khang Alas? Apakah sudah disepakati penamaan "batak alas" itu hanya karena raja pertama di tanoh alas ini berasal dari batak?
ReplyDeleteDemikian, mohon penjelasan dari bapak. Terimakasih.
Ini penamaan "Batak Alas" ini kita ambil dari mana pak Thalib? Jika dari silsilah raja lambing, lalu bagaimana dengan penghuni sebelum kedatangan raja lambing yg dlm tulisan bapak di atas mereka dari pesisir aceh, dan juga bagaimana dengan para migrasi2 yg lain baik dari wilayah aceh juga mancanegara yg kemudian menjadi khang Alas? Apakah sudah disepakati penamaan "batak alas" itu hanya karena raja pertama di tanoh alas ini berasal dari batak?
ReplyDeleteDemikian, mohon penjelasan dari bapak. Terimakasih.
mantap nde, kolerasi antara tulisan dan fakta ilmiah cukup valid dgn bukti2 yg ada. Cocok nde pak... jadi bhn baca'en generasi mudhe (khususne pemuda aceh tenggara). Tabi pak, de nemu kndhu bhn tulisen ttng canang situ khas adat alas tee.., kakhne canang hampekh stiap daekhah Aceh masing2 let canang tersendiri.
ReplyDeleteMake Money: Betting on Sports - WorkMaker
ReplyDeleteBetting 바카라 사이트 on sports at WorkMaker is a free and fun way หารายได้เสริม to make money from your own money. We have a huge range of betting markets to choose 1xbet korean from,