Header Ads

ad728

Breaking News

BULANG BULU DALAM KEHIDUPAN ADAT DAN ADAT ISTIADAT ALAS SERTA FILOSOFISNYA *

Oleh:
Dr. H.Thalib Akbar, M.Sc.**
* Tulisan ini adalah sebagian kecil dari Materi Ajar pada
Pendidikan dan Pelatihan Formal Kader Ulama (PKU)
Angkatan II Tahun 2017, yang diselenggarakan oleh Majelis
Permusyawaratan Ulama (MPU) Kabupaten Aceh Tenggara
di Kutacane, Tanggal 26 Oktober S/D 10 November
2017.
**Dosen Bahasa dan Sastra Alas STKIP Usman Safri
Kutacane.
**Nara Sumber/Tenaga Ahli Bidang Adat dan Budaya Alas dalam Sidang Meja Hijau Mahasiswa Pasca Sarjana Kementerian Ristekdikti pada Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang, Provinsi Sumatera Barat, Tanggal 21 Agustus
2017.
** Kepala Badan Kerja Sama Koperasi Serba Usaha Tuah RABU- IRWANDI NOVA - Relawan 2017 (BKS-KSU Agara) Kabupaten Aceh Tenggara.
**Thalib Akbar adalah Penulis Buku-buku hasil penelitian selama 13 tahun di Kabupaten Aceh Tenggara yang dibiayai sebagian dari Dana Unit Manajemen Leuser (UML/Uni Eropa) yang berjudul :
1. Adat Siempat Perkara, Edisi Ketiga, Tahun 2014,
ISBN: 978-602-71385-1-3.
2. Buku Adat Pantang Kemali, Tulahan, dan Petuah Adat,
Edisi Ketiga, Tahun 2014, ISBN: 978-602-71385-2-0.
3. Buku Sanksi dan Denda Tindak Pidana Adat di Tanah
Alas, Edisi Ketiga, Tahun 2014, ISBN: 978-602-71385-3-7.
4. Buku Pedoman Peradilan Adat Kute dan Hakim Fungsional
Adat di Tanah Alas, Edisi Ketiga, Tahun 2014, ISBN:
978-602-71385-4-4.
PENDAHULUAN
Bulang bulu adalah sebagai pakaian asesoris laki-laki dalam menjalankan kehidupan adat dan adat istiadat Alas. Bulang bulu pada awalnya dibawa oleh Raja Lambing dari Tanah Karo (Keturunan dan pengikutnya bermarga Selian di Batumbulan dan sekitarnya) pada akhir tahun 1200-an. Kehadiran Raja Lambing ke Tanah Alas adalah untuk mencari Saudaranya bernama Raja Enggang (Keturunannya Marga Pinim dan pengikutnya juga di Batumbulan dan Sekitarnya) di Tanah Alas. Namun Raja Enggang sudah bermigrasi ke Kluat atau Kluet, sekarang di Aceh Selatan. Bulang Bulu merupakan asesories yang sudah diadatkan pemakaiaanya dengan nama aslinya adalah Shal Kasmir. Shal Kasmir atau Bulang Bulu (Bahasa Alas-red) terbuat dari bahan pilihan dan sangat lembut dan berbulu sangat halus.
Secara informal biasanya Bulang Bulu dipakai dengan teknik digantungkan atau dibelitkan pada leher bila sedang memakai peci hitam atau kupiah lingir bagi yang sudah berhaji, dimana kedua ujungnya bergantung pada dada atau bhabeken ni bahakhe (Bahasa Alas-red). Bila pemakaian secara formal harus dirajut dan disorbankan di kepala kaum laki-laki pada umumnya dipakai pada acara sunat Rasul dan menyambut tamu yang sangat dihormati atau pembesar-pembesar Negeri dll. Menurut beberapa Informan ahli adat Alas, yaitu Bapak H. Yacob Pagan, H. Nurdin Beruh, dan Mat Gule (1999) bahwa dahulu pertama sekali warna asli Bulang Bulu dari Tanah Karo yang dibawa oleh Lambing adalah berwarna HIJAU. Bulang bulu ini merupakan pemberian dari keluaraga Sembiring Brahmana. Sembiring Brahmana ini adalah Kalimbubu-nya Raja Lambing, yaitu seorang Wali laki-laki dari Ibu Mertuanya Lambing, atau kakek dari pihak istri Lambing. Kakek istri Lambing ini bermarga Sembiring Brahmana di Tanah Karo yang dahulunya berasal dari India yang sehariannya memakai Shal Kasmir atau Bulang Bulu warna hijau, dibuatkan bentuk sorban dipakai pada kepala dalam kehidupan berpakaian mereka sehari-hari.
Pada tahun 1348 Orang Alas pertama sekali memeluk Islam (Effendy, 1969), maka mulailah Orang Alas beralih ke budaya berpakaian menurut Islam, sehingga ada yang memakai Bulang Bulu dulunya warna hijau lalu menjadi Sorban umumnya berubah dari hijau menjadi warna PUTIH. Sorban warna Putih kerap sekali dipakai oleh Para Ulama dan Pemuka Agama Islam. Salah satu Ulama Kharismatik yang kerap memakai Sorban putih atau sejenis Bulang Bulu Warna Putih pada akhir tahun 1800-an adalah Haji Djakfar, yaitu Adik dari Radja Tjhik Batumbulan atau ayah dari H. Abdul Chani, yang dikenal dengan Raja Wan Ampuk. Kemudian Bulang Bulu Putih atau Sorban tersebut juga merupakan pakaian khas Tengku Mbelin di Pinding, sekarang dalam wilayah Kecamatan Lawe Sumur, dimana makam Tengku Mbelin ini berada di Sebelah Barat Jalan Besar Kutacane-Medan, tepatnya di Kute Terutung Megare, Kecamatan Bambel. Dengan Sorbanya saja Tengku Mbelin terkenal di Aceh, juga karena Allah memang banyak memberikan kelebihan kepada Ulama Karismatik kita ini. Jadi Warna Bulang Bulu yang dipakai menjadi sorban para Ulama dan yang sudah menunaikan Rukun Islam ke lima, yaitu menunaikan Haji ke Baitullah kebanyakan berwarna Putih. Memang bersorban putih merupakan lambang kesucian yang fitrah, tentu dalam kurun waktu inilah diperkirakan perubahan pertama Bulang Bulu dulunya berwarna hijau berubah menjadi PUTIH. Umumnya orang Arab laki-laki di Mekkah dan Madinah tidaklah memakai Bulang Bulu atau sorban Putih, tetapi mereka kebanyakan mengenakan baju jubah panjang saja.
Bulang Bulu berubah dari warna Hijau menjadi Putih, setelah tahun 1348, diperkirakan pada akhir tahun 1800-an beberapa Ulama memberikan info Kepada Radja Wan Ampuk (Raja setelah kekuasan Raja H. Djakfar) pada kesimpulannya adalah bahwa tidak lama lagi Kafir akan datang dan membunuh ribuan pejuang Tanah Alas. Dimana diduga serdadu kafir dimaksud berseragam kehijau-hijauan/gelap. Ternyata benar adanya bahwa beberapa tahun kemudian Overste Van Daalen dengan pasukannya menginjakan kakinya di Tanah Alas (Aceh Tenggara) pada tanggal 9 Juni 1904 (Sou’yb et al., 1976). Agar tidak keliru karena musuh kafir berpakaian hijau tua/gelap, maka kesepakatan pakaian Bulang Bulu digunakan warna MERAH untuk membangkitkan dan meningkatkan spirit (Iwabuchi, 1994) juang melawan musuh atau kafir. Karena merah dalam adat Alas melambangkan kegagahan, keberanian, dan heroik, maka spirit merah telah menjadi Bulang Bulu disorbankan dikepala berperang melawan Penjajah Belanda, diperkirakan ketika itulah bulang bulu warna MERAH diseragamkan hingga sekarang. Diperkirakan sejak tanggal 9 Juni 1904 dimana ketika itu pasukan Van Daalen tiba di Tanah Alas (Sou’yb, et al, 1979), maka Orang Alas yang menjadi Panglima dan tokoh-tokoh pejuang melawan Belanda seolah-olah wajib berpakaian merah yang diikat pada kepala atau memakai Bulang Bulu Merah atau Sorban Merah berjuang melawan Belanda di Kuta Rih, Likat, Kuta Lengat Baru. Memang benar, timbul spirit dalam memakai Bulang Bulu Merah, ini disebabkan Bulang Bulu adalah termasuk kain dari Tanah Suci yang diperoleh umumnya sebagai oleh-oleh dari Mekkah, tentu sangat baik dibawa ke medan laga berperang menjadi Syahid. Sejak inilah diperkirakan Bulang Bulu umumnya warna merah digunakan dalam adat istiadat sunat Rasul Orang Alas dll, termasuk pakaian kebanggaan adat adalah MERAH. Ternya sapi jantan pun melihat warna merah merasa tertantang. Ini baru melihat, apalagi warna merah dipakaikan (lihat Acara Matador di Eropa). Tidak hanya orang Alas, hampir seluruh etnis Batak menyukai warna merah, ini lambang kegagahan, heroik, keberanian, dan meningkatkan spirit juang secara umum.
Sejak itu pulalah Orang Alas diadatkan memakai kain warna merah atau Bulang Bulu berwarna merah darah sebagai simbol pejuang mati Syahid demi mempertahankan hak dan Islam. Dulu, mati syahid dimaksud disimbolkan dengan melambaikan Bulang Bulunya sebagai bendera di depan rumah persemayaman sementaranya sebelum dibawa ke perkuburan. Sekarang bukan lagi langsung bulang bulu sebagai pertanda ada peristiwa meninggal dunia sebagai benderanya, tetapi dibuat dari kertas minyak warna Merah di depan rumahnya sebagai simbol adanya maut atau seseorang telah berpulang ke Rahmatullah.
Perlu difahami bahwa Bulang Bulu di Aceh Tenggara didapat sebagian besar merukan oleh-oleh dibawa pulang usai melaksanakan Haji di Tanah Suci Mekah, dan Bulang Bulu atau Shal Kashmir dimaksud banyak dijual di sekitar Makhtab wilayah Bakhudmah, Mekkah Saudi Arabia. Namun pengalaman penulis yang pernah melakukan survei sekitar Makhtab Bakhudmah keberadaan Bulang Bulu di Tanah Suci Mekkah tahun 2013 memang benar dikenal dengan nama Shal Kashmir dalam bahasa Arab, ternyata memang asli buatan Kashmir (Made in Kashmir, India).
SEMARAK BARU MEMAKAI ADAT BULANG BULU SETELAH 113 TAHUN PEMBANTAIAN 1.484 JIWA ORANG ALAS WAFAT DI ACEH TENGGARA
Jangakan seribu orang lebih, bayangkan sepuluh orang saja termasuk yang membaca makalah ini di tembak kepalanya dan data mengenai jantungnya, bagaimana perasaan pembaca. Ngeri melihat darahnya seperti air warna merah mengalir. Jadi setelah 113 tahun kemudian sejak tahun 1904 pembantaian Orang Alas oleh pasukan Marsose Belanda pimpinan Van Daalen di Kuta Rih, Likat, dan Kuta Lengat Baru. Mulai tahun 2017 ini lagi pemakaian Bulang Bulu lambang perjuangan dan keberanian di Tanah Alas disemarakkan oleh Bupati Raidin Pinim dan Bukhari. Yaitu sejak kampanye hingga mulai duduk menjadi Kepala Daerah di Kabupaten Aceh Tenggara. Disemarakkan dimaksud adalah bahwa Bupati Raidin Pinim dan Wakil Bupati Bukhari mewajibkan pemakaian Bulang Bulu adat Alas kepada PNS dan ASN Pemerintah Daerah setiap hari Rabu.
Thank’s RABU, Thank’s Pak Bupati RAIDIN PINIM.
And Thank’s Pak Wakil Bupati BUKHARI, yang peduli ADAT ALAS. Dengan dasar Ketulusan dalam Adat Alas maka semua pendatang diterima
masuk dan hidup layak di Tanah Alas.
Kalaulah berdasarkan Agama, jelas Nasrani bukan satu akidah dengan Orang Alas, ibarat minyak dengan air, tidak bisa bersatu dan memang tidak boleh campur.
Adat Alas lah yang telah menjembatani hubungan silaturahmi dan ikatan kawin silang antar suku 10 suku di Aceh Tenggara.
Kami (Thalib Akbar) sebagai Ketua Pembina Majelis Hakim Adat Alas Kabupaten Aceh Tenggara dan semua Anggota sangat menghargai upaya Bapak Bupati dan Bapak Wakil Bupati yang konsisten Peduli Adat dan Kearifan Lokal Orang Alas. Dapat dimaklumi bahwa banyak pihak tidak tau info hasil penelitian ini, maka melakukan protes atau penolakan sehubungan dengan mereka cenderung mengedepankan emosi, bukan karena ahli dan intuisi profesi sebagai peneliti kehidupan adat dan adat istiadat Orang Alas di Aceh Tenggara. Kedepan alangkah indahnya ada kesempatan berdiskusi dengan stakeholders yang belum faham terhadap filosofis Bulang Bulu ini, kiranya dapat diulurkan pemahaman atau info penelitian ini bagi yang membutuhkannya dan bagi pihak yang memang benar-benar karena ingin tahu.
Bahwa dalam perjuangan secara massal, dengan memakai pakaian bulang bulu dapat mendorong pembentukan karakter heroik tinggi Orang-orang di Tanah Alas. Sebab Bulang Bulu, bagi yang memahami filosofis sejarahnya, dapat menjadi pendorong high spirit dalam berjuang yang positif. Terbukti waktu Pilkada Hari Rabu tanggal 15 Februari 2017 lalu pencinta Bulang Bulu berhasil mengumpulkan dana/bantuan Orang Desa dan dan memberikan suara mayoritas memenangkan Raidin Pinim dan Bukhri yang identik Orang Banyak/Orang Kampung dengan Pakaian Adat Alas dan Bulang Bulu. Filosofis heroik warna Merah Bulang Bulu yang identik warna darah bagi pejuang Orang Alas melawan belanda pada tahun 1904 di Kuta Rih, Likat dan Kute Lengat seolah-olah, terulang kembali pada Pilkada 2017 di Tanah Alas. Tidak hanya harta benda dikorbankan dalam membentuk energi spirit merah Bulang Bulu, malah 1.484 nyawa rakyat korban meninggal dunia bersimbah darah untuk melawan Pasukan Van Daalen demi masa depan yang kita nikmati sekarang ini. Filosofis sejarah tersebut berulang dengan versi berbeda pada Pilkada Tahun 2017 ini, ternyata simbol heroik warna Merah Bulang Bulu menggetarkan kalbu Pemilih dan simpatisan RABU, memacu identitas Orang-Orang dan simpatisanya dari berbagai suku ingin perubahan dan mengharapakan masa depan anak cucunya yang prosfektif.
Kita harus seperti Orang Jepang, bangga dengan baju KIMONO-nya, Kita juga harus seperti Orang Arab bangga dengan baju Jubahnya, kita juga seperti Orang Bali, merka wajib bangga dengan ornamen dan kehidupan adat dan adat istiadat Hindu Bali-nya. Kebanggaan memakai Bulang Buru ini juga merupakan gambaran sudah terbentuknya karakter bermoral ketimuran Indonesia di Tanah Alas. Karena Bulang Bulu juga merupakan milik Bangsa Indonesia di Tanah Alas, Indonesia. Malah Negara Indonesia telah meberikan ruang untuk mengembangkan kehidupan adat dan adat istiadat Alas di Aceh Tenggara lewat Undang-undang Nomor: 11 Tahun 2006 dan Qanun Aceh Nomor: 9 Tahun 2008. Mengapa harus Adat Alas . . . ? Karena dalam Hukum Adat dan Hukum Positif ada adegium mengatakan “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”, maka Adat Alas tentu sebagai leading di Aceh Tenggara. Lucu dan tidak mungkin kalau dikembangkan kepada kita di Tanah Alas kehidupan Adat Orang TIMIKA dari Tanah Papua, Irian Jaya. Apalagi pakai KOTEKA semua laki-laki Aceh Tenggara, orang melihatnya pada lari. Wajar sudah 113 tahun kita tinggalkan arti filosofis Merah Bulang Bulu dalam perjuangan hidup bersama, banyak tidak tau. Ibarat seekor ayam, dipakaikan gelang emas pada kakinya, ayam akan bawa itu emas kedalam lumpur. Karena tidak tau menghargai nilainya. Begitu juga Bulang Bulu bagi sebagian orang yang belum faham manfaat filosofisnya dalam kehidupan adat dan adat istiadat Orang Alas. Seharusnya kita berbangga hati, ada benda yang diadatkan dibudayapakaikan lagi oleh Pemangku Adat Alas yang berwenang (Bupati-Wakil Bupati). Mengapa harus orang lain risih. Pemangku Adat Alas sejak dari dulu adalah Raja Alas. Sekarang Raja Alas tersebut kedudukannya Bupati/Wakil Bupati. Kalaulah semua arif, Pengurus Majelis Adat (MAA) atau yang mantan MAA tentu sadar bahwa mereka satu Rumah rupanya dengan Pemangku Adat Alas di Aceh Tenggara. Buktinya Pengurus MAA dan Para Pemangku Adat Alas adalah satu SK (satu Surat Keputusan). Dalam adat Alas, dan mungkin dalam adat manapun secara budaya Ketimuran, kalau ada masalah dalam keluarga, malu dibawa ke rumah orang lain, dalam hal ini sampai-sampai rumah tetangga (ke Gedung DPRK), membuka-buka masalah internal diri sendiri. Itupun rupanya tidak ada yang keliru. Tetapi ibarat ayam tadi membawa gelang emas ke lumpur. Apa boleh buat, ayam tidak mengerti nilai emas tersebut. Tugas MAA lah melaksanakan teknis, apa sudah disosialisasikankah cara memakai Bulang Bulu, adakah Qanun atau Peraturan lainnya untuk itu diusulkan dari teknis pihak MAA, apa sanksinya bila umpamnya Bulang Bulu dipijak-pijak orang waras, dipijak-pijak orang gila...? Coba lihat bila Bendera Merah Putih diinjak-injak pasti ada PIDANA-nya, apalah artinya bendera, itukan kain biasa, untuk bendera kita jelas ada aturannya. Disinilah kita dapat dinilai orang banyak, Apa kerja kita selaku "ahli-ahli" adat di MAA, benarkah kita sudah ahli adat, beradatkah kita, apa kontribusi adat yang sudah kita sumbangkan kepada Rakyat dan Pemerintah, adakah tugas meneliti dalam SK kita ditindak lanjuti Pengurus MAA. Kalau tidak produktif kita malu makan gaji saja setiap bulan; berarti dipertanyakan orang banyak nanti, apakah kita sudah berkarakter moral adat ketimuran Indonesia di Tanah Alas sesuai kehidupan adat dan adat istiadat, apa belum...? Apakah kita faham tentang filosofis Bulang Bulu...? Coba di perhatikan, tidak ada satupun ornamen adat Alas di torehkan pada Bulang Bulu itu, Bulang bulu dibeli di Arab Saudi. Bulang Bulu dibuat Pabrik di Kashmir, dibeli di Mekkah, Madinah, dan Jeddah di Arab Saudi lalu dibawa ke Aceh Tenggara. Tetapi Nilai filosofisnya Bulang Bulu dapat mengobarkan energi spirit berjuang bersama, apalagi ramai-ramai memakainya. Program membudayakan Bulang Bulu dikalangan PNS/ASN inilah salah satu contoh awal pembentukan karakter moral adat ketimuran Indonesia di Tanah Alas, yang sekarang masuk dalam adat istiadat Nusantara sedang dikembangkan oleh Presiden JOKOWI. Membudayakan pemakaian Bulang Bulu adalah legal, ada dalam ketentuan Pemerintah RI bahwa satu hari PNS/ASN bekerja di kantor boleh memakai pakaian khas adat setempat semisal batik dll, dalam hal ini Bulang Bulu di kalangan PNS/ASN Kabupaten Aceh Tenggara.
WARNA ORNAMEN DALAM KEHIDUPAN ADAT ALAS
Berdasarkan data di atas jelas diketahui bahwa asimilasi antara antropolgi budaya dan adat istiadat Suku Bangsa Alas telah berlangsung sejak tahun 674 Masehi, tetapi Agamanya masih Animisme atau Perbegu. Selanjutnya seluruh suku Bangsa Alas resmi meninggalkan kepercayaan perbegu atau animisme dan memeluk Islam sejak tahun 1348 hingga sekarang (Sebayang, 1975:73; Iwabuchi, 1994; Effendy, 1967:7). Demikian juga warna pada ornamen adat dan adat istiadat Orang Alas, baik dalam wujud ukiran maupun pada Baju Mesikhat (pakaian adat Alas-red) tetap eksis hingga kini.
Pertama adalah warna HIJAU. Warna hijau melambangkan kesuburan tanah untuk bercocok tanam sehubungan dengan budaya Dongson yang dibawa nenek moyang Orang Alas dari Tibet Utara. Maka warna HIJAU diasumsikan dalam adat Alas sebagai lambang kesuburan hidup tanaman, sehingga tidak membuat lapar Orang Alas dan pihak-pihak lainnya hingga kini.
Kedua adalah warna KUNING. Warna kuning secara filosofis adalah lambang kesejahteraan, ketertiban, dan keamanan hidup Orang Alas ibarat padi sedang menguning. Warna kesejahteraan atau Warna Kuning ini mulai dirasakan Orang Alas sejak ada aturan dan Penerapan Hukum Adat Alas dari Raja Lambing yang hadir di Tanah Alas pada akhir tahun 1200-an (Iwabuchi, 1994; Effendy, 1967:7).
Ketiga adalah warna PUTIH. Warna ini diasumsikan mulai dipakai sejak Orang Alas memeluk Agama Islam pada tahun 1348 (Effendy, 1967: 7-8; Akbar, 2010-a). Warna Putih merupakan pertanda kesucian, kemurnian hati seluruh Orang Alas, ikhlas sebagai pemeluk Islam. Berarti bila ada suku alas tidak Islam jelas kena sabur pinang karena dianggap masih perbegu identik dengan dukun santet, maka dia dianggap bukan orang Alas.
Keempat adalah warna MERAH. Warna merah pada ornamen adat diasumsikan lambang semarak, heroik, dan keberanian berjuang melawan penjajah dan kejaliman yang digunakan oleh para Panglima Alas sejak perang berdarah melawan pasukan Marsose Belanda pimpinan Van Daalen pada tanggal 14 Juni 1904 di Kuta Rih, tanggal 20 Juli di Likat, dan tanggal 24 Juni di Telengat Baru yang menewaskan 1.484 nyawa para Syuhada Tanah Alas (Sou’yb et al, 1976; Effendy, 1967: 7-8; Akbar dan Sri Kartini, 2006:5).
TIDAK ADA WARNA PUTIH ORNAMEN HIASAN ADAT ALAS PADA BAWAH TALANG SISI LUAR MESJID RAYA AT-TAQWA KUTACANE, MUNGKINKAH INI TERLUPAKAN ...?
Ternyata warna Putih dalam Adat Alas inilah yang lupa ditabalkan oleh penguasa waktu itu pada ukiran adat Alas yang kini menjadi daya tarik tersendiri pada Mesjid Raya Attaqwa Kutacane, Aceh Tenggara. Yaitu khusus ukiran di bawah talang bagian luar. Dan masalah ini pula yang ditanyakan oleh beberapa mahasiswa Institut Seni dari Bandung dan peneliti menulis thesis strata Pasca Sajana dari Padangpanjang dan Pulau Jawa beberapa waktu lalu kepada penulis. Atas usulan mereka, ke depan (Bupati dan Wakil Bupati terpilih, RABU) seyogyanya mengupayakan menambah Warna putih bersih pada ornamen atau ukiran adat Alas bawah talang mesjid kebanggaan Aceh Tenggara ini. Penabalan warna putih lebih mudah daripada membangunya. Cukup dipolekan saja cat Warna Putih oleh ahlinya-selesai, sehingga tidak dianggap pihak tertentu bahwa Orang Alas masih menganut Animisme atau Perbegu alias belum memeluk Islam. Fenomena ini adalah memalukan Orang Alas dalam dunia akademik bidang seni adat.
PENUTUP
Ke depan, tidak saja dibudayakan Bulang Bulu kepada PNS/ASN Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Tenggara, tetapi perlu diterapkan pelaksanaan Peradilan Adat di Kute-kute dengan memanfaatkan para Hakim Fungsional adat Alas sesuai ketentuan dan peraturan Perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Dengan demikian tidaklah seluruh perbuatan pidana dan perdata yang 18 macam dalam Qanun Aceh Nomo: 9 Tahun 2008 masih dibebankan penyelesaiannya kepada Pengadilan Negeri atau Mahkamah Syar’iah, tetapi ini adalah kewenangan Peradilan Adat di Kute-kute yang diberikan oleh Negara, harus diberdayakan segera, terutama oleh Pengulu selaku Pemangku adat dan selaku Ketua Majelis Peradilan Adat di Kute wajib beradat. Tidak mungkin bisa menjadi Pemangku Adat, apa lagi Menjadi Ketua Majelis Peradilan Adat Kute sesuai ketentuan kalau tidak mengetahui dan tidak lulus tes tentang kehidupan adat dan adat istiadat Alas bagi Orang Alas ketika menjadi Bakal Calon Pengulu. Kalau memang tidak tau adat, apalagi makan hak orang miskin dsb mungkin ada sesuatu para rezim lalu merekrutnya sehingga menjadi Pengulu tidak menguasai kehidupan adat Alas. Yakinlah ada adegium Orang Alas yang wajar direnungkan, yaitu "Nggeluh meseni mejile teridah, nggeluh meilmu menjadi mudah, nggeluh meragame mendapet berkah, nggeluh meradat menjadi terarah", terjemahannya: "Hidup dengan seni indah, hidup dengan ilmu mudah, hidup dengan agama berkah, hidup dengan adat terarah". Bila tidak kuat Agama dan Adat, tidak berseni, apalagi tanpa ilmu, niscaya seorang pimpinan dalam hal ini misalnya seorang Pengulu akan berhadapan rundungan masalah kolusi, nepotisme, dan korupsi dalam kepemimpinanya. Di Aceh Tenggara Pengulu semua bagus-bagus, berseni, berilmu, beragama, dan beradat sehingga rakyat tenteram, dan adem ayem berarti rekrutmennya bagus. Tetapi di Pulau Jawa banyak Pengulu/Kepala Desa yang nakal dan sudah masuk Penjara.
Seperti disampaikan di atas, penerapan ketentuan kehidupan adat dan adat istiadat Alas dapat membentuk karakter bermoral adat ketimuran Indonesia di Tanah Alas kepada anak didik di sekolah dasar dan menengah, termasuk orang dewasa. Dengan demikian diharapakan akan tumbuh budaya metahat ate (sungkan), sumbang (tak elok kelihatan), dan malu berbuat yang sungkan dan yang sumbang tersebut, tetapi tegas dan jujur dalam kebenaran dan membela haknya dan hak orang lain. Budaya malu berbuat tidak baik inilah yang perlu dimunculkan dalam pendidikan muatan lokal (MULOK) di sekolah guna pembentukan karakter moral adat ketimuran Indonesia pada generasi muda di Aeh Tenggara, khususnya anak-anak kita, yaitu 60% pendidikan adat dan adat istiadat dilakukan di rumah oleh orang tua, 20% dibentuk oleh lingkungan di tengah-tengan pergaulan sehari-hari dalam masyarakat adat, dan 20% dibentuk di sekolah dan tempat pengajian yang mana wajib dilaksanakan oleh para guru dan ustadz.
Terakhir, ada Petuah Adat Alas “Ndape loot ketile endak megetah, dape loot jeme endak mesalah”, terjemahannya: Mana ada kates tidak bergetah, mana ada manusia tidak bersalah, sehingga semua ketentuan kehidupan adat istiadat Alas sekarang adalah buatan, rasa, dan karsa manusia, pasti ada yang salah, oleh karena itu sepanjang ada pertentangannya dengan Syariah, diluruskan secara perlahan-lahan. Kita lihat Bangsa Jepang, mereka bangga dengan Adat Istiadat ketimurannya, termasuk menjaga sopan santun walaupun teknologinya sudah canggih. Bagaimana adat Orang Alas ke depan....? Sekian.
* Tulisan ini adalah karya akademik seorang manusia, berarti pasti belum sempurna, kecuali Al Quran yang perfect. Oleh sebab itu tolong kritik dan saran membangun untuk menyempurnakan penulisan pada edisi mendatang.

1 comment: