BULANG BULU DALAM ADAT ALAS
BULANG BULU
DALAM KEHIDUPAN ADAT DAN ADAT ISTIADAT ALAS DAN FILOSOFISNYA *
Dr. H.Thalib
Akbar, M.Sc.**
* Tulisan ini
adalah sebagian kecil dari Materi Ajar pada
Pendidikan dan
Pelatihan Formal Kader Ulama (PKU)
Angkatan II
Tahun 2017, yang diselenggarakan oleh Majelis
Permusyawaratan
Ulama (MPU) Kabupaten Aceh Tenggara
di Kutacane,
pada Tanggal 26 Oktober S/D 10 November
2017.
**Dosen Bahasa
dan Sastra Alas STKIP Usaman Safri
Kutacane.
**Nara
Sumber/Tenaga Ahli dalam Sidang Thesis
Mahasiswa Pasca
Sarjana Institut Seni Indonesia (ISI)
Padangpanjang,
Sumatera Barat pada tanggal 21 Agustus
2017
**Thalib Akbar
adalah Penulis Buku-buku hasil penelitian selama 13 tahun di Kabupaten Aceh
Tenggara yang dibiayai sebagain dari Dana Unit Manajemen Leuser (UML/Uni Eropa)
yang berjudul :
1. Adat Siempat
Perkara, Edisi Ketiga, Tahun 2014,
ISBN:
978-602-71385-1-3.
2. Buku Adat
Pantang Kemali, Tulahan, dan Petuah Adat,
Edisi Ketiga,
Tahun 2014, ISBN: 978-602-71385-2-0.
3. Buku Sanksi
dan Denda Tindak Pidana Adat di Tanah
Alas, Edisi
Ketiga, Tahun 2014, ISBN: 978-602-71385-3-7.
4. Buku Pedoman
Peradilan Adat Kute dan Hakim Fungsional
Adat di Tanah
Alas, Edisi Ketiga, Tahun 2014, ISBN:
978-602-71385-4-4.
Pendahuluan
Bulang bulu
adalah sebagai pakaian asesoris laki-laki dalam menjalankan kehidupan adat dan
adat istiadat Alas. Bulang bulu pada awalnya dibawa oleh Raja Lambing dari Tanah
Karo (Keturunan dan pengikutnya bermarga Selian di Batumbulan dan sekitarnya)
pada akhir tahun 1200-an. Kehadiran Raja Lambing ke Tanah Alas adalah untuk
mencari Saudaranya bernama Raja Enggang (Keturunannya Marga Pinim dan
pengukutnya juga di Batumbulan dan Sekitarnya) di Tanah Alas. Namun Raja
Enggang sudah bermigrasi ke Kluat atau Kluet, sekarang di Aceh Selatan. Bulang
Bulu merupakan asesories yang sudah diadatkan pemakaiaanya dengan nama aslinya
adalah Shal Kasmir. Shal Kasmir atau Bulang Bulu (Bahasa Alas-red) terbuat dari
bahan pilihan dan sangat lembut dan berbulu sangat halus.
Secara informal
biasanya Bulang Bulu dipakai dengan teknik digantungkan atau dibelitkan pada
leher dimana kedua ujungnya bergantung pada dada atau bhabeken ni bahakhe (Bahasa
Alas-red). Bila pemakaian secara formal harus dirajut dan disorbankan di kepala
kaum laki-laki pada umumnya dipakai pada acara sunat Rasul dan menyambut tamu
yang sangat dihormati atau pembesar-pembesar Negeri dll. Menurut beberapa
Informan ahli adat Alas, yaitu Bapak H. Yacob Pagan, H. Nurdin Beruh, dan Mat
Gule (1999) bahwa dahulu pertama sekali warna asli Bulang Bulu dari Tanah Karo
yang dibawa oleh Lambing adalah berwarna HIJAU. Bulang bulu ini merupakan
pemberian dari keluaraga Sembiring Brahmana. Sembiring Brahmana ini adalah
Kalimbubu-nya Raja Lambing, yaitu seorang Wali laki-laki dari Ibu Mertuanya
Lambing, atau kakek dari pihak istri Lambing. Kakek istri Lambing ini bermarga
Sembiring Brahmana di Tanah Karo yang dahulunya berasal dari India yang
sehariannya memakai Shal Kasmir atau Bulang Bulu warna hijau, dibuatkan bentuk
sorban dipakai pada kepala dalam kehidupan berpakaian mereka sehari-hari.
Pada tahun 1348
Orang Alas pertama sekali memeluk Islam (Effendy, 1969), maka mulailah Orang Alas
beralih ke budaya berpakaian menurut Islam, sehingga ada yang memakai Bulang
Bulu dulunya warna hijau lalu menjadi Sorban umumnya berubah dari hijau menjadi
warna PUTIH. Sorban warna Putih kerap sekali dipakai oleh Para Ulama dan Pemuka
Agama Islam. Salah satu Ulama Kharismatik yang kerap memakai Sorban putih atau
sejenis Bulang Bulu Warna Putih pada akhir tahun 1800-an adalah Haji Djakfar,
yaitu Adik dari Radja Tjhik Batumbulan atau ayah dari H. Abdul Chani, yang
dikenal dengan Raja Wan Ampuk. Kemudian Bulang Bulu Putih atau Sorban tersebut
juga merupakan pakaian khas Tengku Mbelin di Pinding, sekarang dalam wilayah
Kecamatan Lawe Sumur, dimana makam Tengku Mbelin ini berada di Sebelah Barat
Jalan Besar Kutacane-Medan, tepatnya di Kute Terutung Megare, Kecamatan Bambel.
Dengan Sorbanya Tengku Mbelin terkenal di Aceh, juga karena Allah memberikan
banyak kelebihan kepada Ulama Karismatik ini. Jadi Warna Bulang Bulu yang
dipakai menjadi sorban para Ulama dan yang sudah menunaikan Rukun Islam ke
lima, yaitu menunaikan Haji ke Baitullah kebanyakan berwarna Putih. Memang
bersorban putih merupakan lambang kesucian yang fitrah, tentu dalam kurun waktu
inilah perubahan pertama Bulang Bulu dulunya berwarna hijau berubah menjadi
PUTIH. Umumnya orang Arab laki-laki di Mekkah dan Madinah tidaklah memakai
Bulang Bulu atau Buylang Bulu atau sorban Putih, tetapi mereka kebanyakan
mengenakan baju jubah panjang saja.
Setelah Bulang
Bulu berubah dari warna Hijau menjadi Putih, pada akhir tahun 1200-an hingga
tahun akhir tahun 1800-an beberapa Ulama memberikan info Kepada Radja Wan Ampuk
(Raja setelah kekuasan Raja H. Djakfar) pada kesimpulannya adalah bahwa tidak
lama lagi Kafir akan datang dan membunuh ribuan pejuang Tanah Alas. Dimana
diduga serdadu kafir dimaksud berseragam kehijau-hijauan/gelap. Ternyata benar
adanya bahwa beberapa tahun kemudian Overste Van Daalen dengan pasukannya
menginjakan kakinya di Tanah Alas (Aceh Tenggara) pada tanggal 9 Juni 1904
(Sou’yb et al., 1976). Agar tidak keliru karena musuh kafir berpakaian hijau
tua/gelap, maka kesepakatan pakaian Bulang Bulu digunakan warna MERAH untuk
meninghkatkan spirit juang melawan musuh atau kafir. Karena merah dalam adat
Alas melambangkan kegagahan, keberanian, dan heroik, maka spirit merah telah
menggantikan Bulang Bulu dipakai berperang melawan belanda berwarna MERAH.
Diperkirakan sejak tanggal 9 Juni 1904 dimana ketika itu pasukan Van Daalen
tiba di Tanah Alas (Sou’yb, et al, 1979), maka Orang Alas yang menjadi Panglima
dan tokoh-tokoh pejuang melawan Belanda wajib berpakaian merah yang diikat pada
kepala atau memakai Bulang Bulu Merah atau Sorban Merah berjuang di Kutarih,
Likat, Kuta Lengat Baru melawan kafir Belanda. Memang benar, timbul spirit
dalam memakai Bulang Bulu Merah, ini disebabkan Bulang Bulu adalah termasuk
kain dari Tanah Suci yang diperoleh umumnya sebagai oleh-oleh dari Mekkah,
tentu sangat baik dibawa ke medan laga berperang menjadi Syahid. Sejak inilah
diperkirakan Bulang Bulu umumnya warna merah digunakan dalam adat istiadat
sunat Rasul Orang Alas dll, termasuk pakaian kebanggaan adat adalah MERAH.
Tidak hanya orang Alas, hampir seluruh etnis Batak menyukai warna merah, ini
lambang kegagahan,keberanian, dan meningkatkan spirit juang secara heroik.
Sejak itu
pulalah Orang Alas diadatkan memakai kain warna merah atau Bulang Bulu berwarna
merah darah sebagai simbol pejuang mati Syahid demi mempertahankan hak dan
Islam. Dulu, mati syahid dimaksud disimbolkan dengan melambaikan Bulang Bulunya
sebagai bendera di depan rumah persemayaman sementaranya sebelum dibawa ke
perkuburan. Sekarang bukan lagi langsung bulang bulu sebagai pertanda ada
peristiwa meninggal dunia sebagai benderanya, tetapi dibuat dari kertas minyak
warna Merah di depan rumahnya sebagai simbol adanya maut atau seseorang telah
berpulang ke Rahmatullah.
Perlu difahami
bahwa Bulang Bulu di Aceh Tenggara didapat sebagian besar merukan oleh-oleh
dibawa pulang usai melaksanakan Haji di Tanah Suci Mekah, dan Bulang Bulu atau
Shal Kashmir dimaksud banyak dijual di sekitar Makhtab wilayah Bakhudmah,
Mekkah Saudi Arabia. Namun pengalaman penulis yang pernah melakukan survei
sekitar Makhtab Bakhudmah keberadaan Bulang Bulu di Tanah Suci Mekkah tahun
2013 memang benar dikenal dengan nama Shal Kashmir dalam bahasa Arab, ternyata
memang asli buatan Kashmir (Made in Kashmir, India).
Semarak Baru
Memakai Adat Bulang Bulu Setelah 113 Tahun
Pembantaian
1.484 Jiwa Orang Alas Wafat di Aceh Tenggara
Jangakan seribu
orang lebih, bayangkan sepuluh orang saja termasuk yang membaca makalah ini di
tembak kepalanya dan data mengenai jantungnya, bagaimana perasaan pembaca.
Ngeri melihat darahnya seperti air warna merah mengalir. Jadi setelah 113 tahun
kemudian sejak tahun 1904 pembantaian Orang Alas oleh pasukan Marsose Belanda
pimpinan Van Daalen di Kuta Rih, Likat, dan Kuta Lengat Baru. Mulai tahun 2017
ini lagi pemakaian Bulang Bulu lambang perjuangan dan keberanian di Tanah Alas
disemarakkan oleh Bupati Raidin Pinim dan Bukhari. Yaitu sejak kampanye hingga
mulai duduk menjadi Kepala Daerah di Kabupaten Aceh Tenggara. Disemarakkan
dimaksud adalah bahwa Bupati Raidin Pinim dan Wakil Bupati Bukhari mewajibkan
pemakaian Bulang Bulu adat Alas kepada PNS dan ASN Pemerintah Daerah setiap
hari Rabu.
Thank’s RABU,
Thank’s Pak Bupati RAIDIN PINIM.
And Thank’s Pak
Wakil Bupati BUKHARI, yang peduli ADAT ALAS. Dengan dasar Ketulusan dalam Adat
Alas maka semua pendatang diterima
masuk dan hidup
layak di Tanah Alas.
Kalaulah
berdasarkan Agama, jelas Nasrani bukan satu akidah dengan Orang Alas, ibarat
minyak dengan air, tidak bisa bersatu dan memang tidak boleh campur.
Adat Alas lah
yang telah menjembatani hubungan silaturahmi dan ikatan kawin silang antar suku
10 suku di Aceh Tenggara.
Kami (Thalib
Akbar) sebagai Ketua Pembina Majelis Hakim Adat Alas Kabupaten Aceh Tenggara
dan semua Anggota sangat menghargai upaya Bapak Bupati dan Bapak Wakil Bupati
yang konsisten Peduli Adat dan Kearifan Lokal Orang Alas. Dapat dimaklumi bahwa
banyak pihak tidak tau info hasil penelitian ini, maka melakukan protes atau
penolakan sehubungan dengan mereka cenderung mengedepankan emosi, bukan karena
ahli dan intuisi profesi sebagai peneliti kehidupan adat dan adat istiadat
Orang Alas di Aceh Tenggara. Kedepan alangkah indahnya ada kesempatan
berdiskusi dengan stakeholders yang belum faham terhadap filosofis Bulang Bulu
ini, kiranya dapat diulurkan pemahaman atau info penelitian ini bagi yang
membutuhkannya dan bagi pihak yang memang benar-benar karena ingin tahu.
Bahwa dalam
perjuangan secara massal, dengan memakai pakaian bulang bulu dapat mendorong
pembentukan karakter heroik tinggi Orang-orang di Tanah Alas. Sebab Bulang
Bulu, bagi yang memahami filosofis sejarahnya, dapat menjadi pendorong high
spirit dalam berjuang yang positif. Terbukti waktu Pilkada Hari Rabu tanggal 15
Februari 2017 lalu pencinta Bulang Bulu berhasil mengumpulkan dana/bantuan
Orang Desa dan dan memberikan suara mayoritas memenangkan Raidin Pinim dan
Bukhri yang identik Orang Banyak/Orang Kampung dengan Pakaian Adat Alas dan
Bulang Bulu. Sejarah heroik Merah Bulang Bulu yang identik warna darah tahun
1904 di Kuta Rih, Likat dan Kute Lengat seolah-olah terulang kembali, sebab
jangankan harta benda, malah 1.484 nyawa rakyat rela berkorban untuk melawan
Pasukan Van Daalen demi masa depan kita sekarang ini. Sejarah tersebut berulang
dengan versi berbeda pada Pilkada Tahun 2017 ini, simbol heroik warna Merah
Bulang Bulu menggetarkan kalbu Pemilih dan simpatisan RABU, mengigatkan
identitas Orang-Orang di Tanah Alas berbagai suku ingin perubahan dan masa
depan anak cucunya yang prosfektif.
Kita harus
seperti Orang Jepang, bangga dengan baju KIMONO-nya, Kita juga harus seperti
Orang Arab bangga dengan baju Jubahnya, kita juga seperti Orang Bali, wajib
bangga dengan ornamen dan kehidupan adat dan adat istiadat Hindu Bali-nya.
Kebanggaaan memakai Bulang Buru ini juga merupakan gambaran Karakter
kepemilikan Adat Istiadat. Malah Negara Indonesia telah meberikan ruang untuk
mengembangkan kehidupan adat dan adat istiadat Alas di Aceh Tenggara lewat
Undang-undang Nomor: 11 Tahun 2006 dan Qanun Aceh Nomor: 9 Tahun 2008. Mengapa
harus Adat Alas . . . ? Karena dalam Hukum Adat dan Hukum Positif ada adegium
mengatakan “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”, maka Adat Alas
tentu sebagai leading di Aceh Tenggara. Lucu dan tidak mungkin kalau
dikembangkan kepada kita di Tanah Alas kehidupan Adat Orang TIMIKA dari Tanah
Papua, Irian Jaya. Apalagi pakai KOTEKA semua laki-laki Aceh Tenggara, orang
melihatnya pada lari. Wajar sudah 113 tahun kita tinggalkan arti filosofis Merah
Bulang Bulu dalam perjuangan hidup bersama, banyak tidak tau. Ibarat seekor
ayam, dipakaikan gelang emas pada kakinya, ayam akan bawa itu emas kedalam
lumpur. Karena tidak tau menghargai nilainya. Begitu juga Bulang Bulu bagi
sebagian orang yang belum faham.
WARNA ORNAMEN
DALAM KEHIDUPAN ADAT ALAS
Berdasarkan
data di atas jelas diketahui bahwa asimilasi antara antropolgi budaya dan adat
istiadat Suku Bangsa Alas telah berlangsung sejak tahun 674 Masehi lalu, tetapi
Agamanya masih Animisme atau Perbegu. Selanjutnya seluruh suku Bangsa Alas
resmi meninggalkan kepercayaan perbegu atau animisme dan memeluk Islam sejak
tahun 1348 hingga sekarang (Sebayang, 1975:73; Iwabuchi, 1994; Effendy,
1967:7). Demikian juga warna pada ornamen adat dan adat istiadat Orang Alas,
baik dalam wujud ukiran maupun pada Baju Mesikhat (pakaian adat Alas-red).
Pertama adalah
warna HIJAU. Warna hijau melambangkan kesuburan tanah untuk bercocok tanam
sehubungan dengan budaya Dongson yang dibawa nenek moyang Orang Alas dari Tibet
Utara, maka diasumsikan warna HIJAU ini ada dalam adat Alas sejak kehadiran
pertama Orang Alas di Tanah Alas pada tahun 674 Masehi. Kedua adalah warna
KUNING. Warna kuning secara filosofis adalah lambang kesejahteraan, ketertiban,
dan keamanan hidup Orang Alas ibarat padi sedang menguning. Warna kesejahteraan
atau Warna Kuning ini mulai dirasakan Orang Alas sejak ada aturan dan Penerapan
Hukum Adat Alas dari Raja Lambing pada akhir tahun 1200-an (Iwabuchi, 1994;
Effendy, 1967:7). Ketiga adalah tambahan warna berikutnya pada oranamen Adat
Alas, yaitu warna PUTIH, diasumsikan mulai dipakai sejak Orang Alas memeluk
Agama Islam pada tahun 1348 (Effendy, 1967: 7-8; Akbar, 2010-a). Warna Putih
merupakan pertanda kesucian, kemurnian hati seluruh Orang Alas, ikhlas sebagai
pemeluk Islam. Berarti bila ada suku alas tidak Islam jelas kena sabur pinang,
dia bukan orang Alas. Terakhir adalah keempat, Warna MERAH. Warna merah pada
ornamen adat diasumsikan lambang semarak, heroik, dan keberanian berjuang
melawan penjajah dan kejaliman yang digunakan oleh para Panglima Alas sejak
perang Berdarah melawan pasukan Marsose Belanda pimpinan Van Daalen pada
tanggal 14 Juni 1904 di Kuta Rih, tanggal 20 Juli di Likat, dan tanggal 24 Juni
di Telengat Baru yang menewaskan 1.484 nyawa para Syuhada Tanah Alas (Sou’yb et
al, 1976; Effendy, 1967: 7-8; Akbar dan Sri Kartini, 2006:5).
Warna PUTIH
Ornamen Hiasan Adat Alas pada Lesplang Mesjid Raya At-Taqwa Kutacane Mungkin
Terlupakan
Ternyata warna
Putih inilah yang lupa ditabalkan pada ukiran adat Alas yang menjadi daya tarik
tersendiri pada Mesjid Raya Attaqwa Kutacane, Aceh Tenggara. Yaitu khusus
ukiran di bawah talang bagian luar. Dan masalah ini pula yang ditanyakan oleh
beberapa mahasiswa Institut Seni dari Bandung dan peneliti menulis thesis
strata Pasca Sajana dari Padangpanjang dan Pulau Jawa beberapa waktu lalu
kepada pemakalah. Atas usulan mereka, ke depan (Bupati dan Wakil Bupati
terpilih, RABU) seyogyanya mengupayakan menambah Warna putih bersih pada
ornamen atau ukiran adat Alas bawah talang mesjid kebanggaan Aceh Tenggara ini.
Penabalan warna putih lebih mudah daripada membangunya. Cukup dipolekan saja
cat Warna Putih oleh ahlinya-selesai, sehingga tidak dianggap pihak tertentu
bahwa Orang Alas masih menganut Animisme atau Batak (Perbegu) alias belum
memeluk Islam. Fenomena ini adalah memalukan Orang Alas.
PENUTUP
Ke depan, tidak
saja dibudayakan Bulang Bulu kepada PNS/ASN Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh
Tenggara, tetapi perlu diterapkan pelaksanaan Peradilan Adat di Kute-kute
dengan memanfaatkan para Hakim Fungsional adat Alas sesuai ketentuan dan
peraturan Perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Dengan demikian
tidaklah seluruh perbuatan pidana dan perdata yang 18 macam dalam Qanun Aceh
Nomo: 9 Tahun 2008 dibebankan lagi penyelesaiannya kepada Pengadilan Negeri
atau Mahkamah Syar’iah, tetapi ini adalah kewenangan Peradilan Adat di
Kute-kute yang diberikan oleh Negara.
Penerapan
ketentuan kehidupan adat dan adat istiadat Alas dapat membentuk karakter adat
ketimuran Indonesia di Tanah Alas kepada anak didik disekolah dasar dan
menengah. Dengan demikian diharapakan akan tumbuh budaya metahat ate (sungkan),
sumbang, dan malu berbuat yang sungkan dan yang sumbang tersebut. Budaya malu
berbuat tidak baik inilah yang perlu bentukan dalam karakter anak-anak kita,
yaitu 60% di rumah oleh orang tua, 20% dibentuk oleh lingkungan di
tengah-tengan pergaulannya sehari-hari, dan 20% dibentuk di sekolah dan
pengajian yang wajib ditanggungjawakan oleh para guru dan ustadz.
Terakhir, ada
Petuah Adat Alas “Ndape loot ketile endak megetah, dape loot jeme endak
mesalah”, terjemahannya: Mana ada kates tidak bergetah, mana ada manusia tidak
bersalah, sehingga semua ketentuan kehidupan adat istiadat Alas sekarang adalah
buatan, rasa, dan karsa manusia, pasti ada yang salah, oleh karena itu
sepanjang ada pertentangannya dengan Syariah, diluruskan secara perlahan-lahan.
Kita lihat orang Bangsa Jepang dengan Adat Istiadat ketimurannya, menjaga sopan
santun walaupun teknologinya sudah canggih. Bagaimana adat Orang Alas ke
depan....? Sekian.
* Tulisan ini
adalah karya akademik seorang manusia, berarti pasti belum sempurna, kecuali Al
Quran yang perfect. Oleh sebab itu tolong kritik dan saran membangun untuk
menyempurnakan penulisan pada edisi mendatang.
Slots | Lucky Club
ReplyDeleteLucky Club is the online casino platform where you can play and win real money with your Bitcoin, Ethereum, and other cryptocurrencies. Enjoy. Join today!Lucky Club · luckyclub.live Lucky Club · Lucky Club Casino · Lucky Club Casino Review