Header Ads

ad728

Breaking News

PENGUATAN PENYIARAN RADIO DA'I PERBATASAN



PENGUATAN PENYIARAN RADIO DA’I PERBATASAN

(Studi Kasus di Aceh Tenggara)

 



Oleh:

 

Dr. H. Thalib Akbar, M.Sc.(USA)


Tengken Selian Pandiagan






1.      PIMPINAN  PT. RADIO DENI BAMA FM, KAB. ACEH TENGGARA
2.      KEPALA BADAN PUSAT PUBLIKASI DAN RISET KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH
3.      WAKIL KETUA MAJELIS ADAT ACEH (MAA) KAB. ACEH TENGGARA
4.      PIMPINAN ASOSIASI PENGAWAS SEKOLAH INDONESIA KAB. ACEH TENGGARA






KOMISI PENYIARAN INDONESIA ACEH

DIPRESENTASIKAN PADA ACARA:
RAPAT KOORDINASI
PENGUATAN PENYIARAN WILAYAH PERBATASAN

DI HERMES PALACE HOTEL, PENANGGALAN
KOTA SUBULUSSALAM
10 - 12 NOVEMBER 2014




Pendahuluan

            Aceh Tenggara mempunyai 16 kecamatan, 386 desa, dengan jumlah penduduk sekitar 210 ribu jiwa.  Tahun 2002, Aceh Tenggara dimekarkan menjadi 2 (dua) kabupaten, yaitu lahirnya Kabupaten Gayo Lues, dari Kabupaten induk Aceh Tenggara (Agara).  Aceh Tenggara memiliki obyek ekowisata secara Nasional dan dunia Internasional dengan laboratorium alam raksasan di Ketambe, Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), dimana saat ini 80 % berada dalam wilayah Agara, namun pengembangannya belum dikerjakan oleh tenaga profesional seperti di Bali dan Bukit Lawang Sumatera Utara.
             
Dulu pada era Orde Baru TNGL merupakan paru-paru Dunia, namun kini TNGL sudah menjadi warisan dunia, ke depan kemungkinan besar di bawah UNESCO PBB.  TNGL dapat menyerap 4 juta ton Karbon dioksida dan debu dunia (Ahmad, 1999).  TNGL kaya dengan khasanah flora dan fauna yang turut menganulir nama Aceh ke dunia Internasional, sehingga Kabupaten Aceh Tenggara diberi dana hibbah pembangunan Landasan Pesawat Terbang Alas Leuser Airport (ALA) yang dananya bersumber dari Pemerintah Uni Eropa.

            Komoditi di Agara adalah produk pertanian, yaitu buah-buahan, jagung, dan beras. Sementara bidang perkebunan Agara mengasilkan kemiri dan kakao.  Perikanan darat di Kabupaten ini sebagai penghasil ikan Mas, jurung, dan ikan air tawar lainnya. Pemasarannya di Aceh dan ke Sumatera Utara.

Ekonomi rakyat Aceh Tenggara sekarang sedang menghalami goncangan dari tahun ke tahun seperti halnya kabupaten-kabupaten lain di Aceh, dan hal ini dapat diindikasikan dengan banyaknya jumlah pengangguran terbuka akibat minimnya lapangan kerja yang diciptakan Pemerintah Aceh dan Kabupaten.  Sehubungan dengan hal tersebut tentu masyarakat memerlukan informasi yang murah, cepat, dan mudah diperoleh, yaitu melalui siaran Radio Deni Bama FM, Radio Leuser Lawe Sigala-gala di Aceh Tenggara yang merupakan salah satu radio Da’i Perbatasan bekerja sama dengan Radio Utan Kayu dan KBR 68H Jakarta via Satelit untuk berita/informasi Daerah, Nasional dan Internasional, dan relay Radio Rodja Jakarta untuk dakwah dan peningkatan siaran Siar Islam di Aceh Tenggara.   Radio Deni Bama adalah salah satu  Radio Tertua di Aceh Tenggara yang mempunyai kerjasama hibbah penggunaan media Dakwah dengan Yayasan Islam Imam Asy’syafi’i Aceh Tenggara termasuk memakai program Skypee live dari Banda Aceh dan dari Da’i Ahlul Sunnah Wal Jamaah Medan,  Sumatera Utara.

PT. Radio Deni Bama adalah satu-satunya Radio FM di Aceh Tenggara dengan daya Pancar 1.000 Watts, Boster Merek RVR Digital buatan Itali; kini terkendala secara teknis beroperasi karena towernya beberapa waktu lalu tumbang dihantam puting beliung dan segmen bisnis ini akhir-akhir ini kurang prosfektif lagi secara komersial.   Pada waktru on air siarannya juga menjangkau sebagian Kabupaten Karo, Dairi, Bukit Lawang Kabupaten  Langkat, Pangkalan Berandan (Sumut) dan Kabupaten Gayo Lues.  Itulah domisili pendengar dan Mitra Radio Deni Bama FM yang berdomisili di Kutacane.    Kini Radio ini telah merumur hampir 20 tahun sejak siaran AM, tentu peralatannya sudah tua dan memerlukan uluran tangan penguasa Provinsi Aceh untuk perbaharuan peralatannya untuk melanjutkan program penyiaran Dakwah Wilayah perbatasan untuk menangkal Program Siaran Radio “Kristenisasi” dari Sidikalang, Sumatera Utara.   Media elektronik siaran Radio di Aceh Tenggara akhir-akhir ini dilupakan oleh Pemerintah Provinsi gezahnya mempertahankan gempuran Kristenisasi dari wilayah luar Aceh dan Sumut.  Terakhir sekali pada tanggal 8 November 2014, ada perwakilan pihak Asing dari luar Aceh hendak menyewa jasa Radio Deni Bama dengan sejumlah fulus yang fantastir pertahun dalam rangka kepentingan siaran Agama Kristen yang memakai donatur International.    Begitulah gempuran kristenisasi ke Aceh.  Alasan pihak asing memakai jasa media elektronik ini karena siaran radio dapat menembus sekat dan batas tembok hingga masuk ke setiap kamar tidur setiap pendengarnya.        



Tantangan Syariat Islam di Aceh Tenggara

Penduduk pemeluk Islam di Aceh Tenggara jumlahnya sekitar 68% dari 210 ribu jiwa dan 32% lainnya adalah ummat kristiani.   Pemeluk Islam di Kabupaten penghasil kemiri ini berbatasan langsung dengan hampir totalitas non-Muslim di daerah arah ke Kabupaten Karo Sumatera Utara.    Disamping adanya ancaman pendangkalan akidah dari pihak sempalan, salah satu permasalahan yang cukup krusial dihadapi oleh ummat Muslim di daerah ini adalah babi bebas dikembangbiakkan di Aceh Tenggara yang bibitnya didatangkan oleh pihak non-Muslim secara besar-besaran dari Sumatera Utara sejak beberapa tahun lalu.   Sehingga sejumlah warga Muslim mengeluhkannya.  Salah seorang di Lawe Loning sebagai mewakili komunitas Muslim sekitarnya mengeluhkan bebasnya babi berkeliaran di sekitar pemukiman mereka yang diternakkan oleh warga non-Muslim, sehingga melepaskan babi sepertinya sudah sengaja “dibudidayakan” di negeri Syariat Islam ini.   Menurut Hasbullah, salah seorang warga lainnya di Lawe Loning tadi pada hari Rabu 24 September 2014 mengatakan bahwa babi yang dipelihara non-Muslim dekat dengan pemukiman dan air yang mengalir, telah mengusik warga Muslim.  Beliau menilai bahwa menyakit dari babi akan mengancam warga jika tidak segera ditindak, apalagi di Aceh telah diberlakukan Qanun Syariat Islam, sehingga babi harus dilenyapkan dari bumi Aceh.  “Sebelum diberlakukan Qanun Syariat Islam, Pemerintah Daerah dulunya menembaki babi yang diternakan, sehingga tidak ada yang memelihara”, pungkas Hasbullah.   Tetapi akhir-akhir ini malah diternakkan dengan bebas tanpa ada larangan dari Pemerintah Kabupaten Aceh Tenggara, pada hal seluruh warga Aceh Tenggara, baik itu Muslim maupun non-Muslim harus mentaati Qanun Syariat Islam tersebut.    Dari trend masuknya bibit babi ke Aceh Tenggara, diduga daerah ini merupakan salah satu “target kristenisasi” secara terselubung lewat pemasukan binatang haram ini dipelihara secara besar-besaran di Aceh Perbatasan ini.   Oleh sebab itu Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Kabupaten Aceh Tenggara akan melakukan razia babi dalam waktu dekat, terutama di Kecamatan Lawe Sigala-gala, Babul Makmur, dan sejumlah kecamatan lainnya  kata Kepala dinasnya, M. Sragafa beberapa waktu lalu  (Serambi Indonesia, 27/9/2014, hal. 13).  

Kabupaten perbatasan ini digempur lagi oleh masuknya narkoba jenis sabu-sabu hampir ke seluruh pelosok meracuni generasi mudanya, sehingga ke depan bila tidak cepat dihapus peredaran barang haram ini, maka dipercaya banyak pemuda Muslim akan menjadi pesakitan moral atau diselimuti budaya tenggen dan menderita gangguan kejiwaan.   Budaya Islam keacehan di Kabupaten ini sepertinya sedang dikepung oleh peredaran barang haram ini.  Pemerintah Kabupaten belum mampu memberantas peredaran obat terlarang ini yang sedang meracuni banyak Muslim.  Anehnya masyarakat sampai penelitian ini dilakukan belum melakukan aksi menolak merebaknya peredaran narkoba ini.

Tidak hanya sebatas ancaman narkoba, pendangkalan akidah, dan trend budidaya babi di bumi Syariat ini relatif meningkat, data terbaru belum diidentifikasi dan dipublikasi oleh instutusi berkompeten, ternyata minuman keras dan tuak juga disajikan kepada banyak orang Muslim.  Bahkan kini sudah banyak orang Muslim malah memproduksi nira untuk diolah menjdi tuak untuk menambah “kehancuran” moral generasi muda dan pihak tuna moral di Aceh Tenggara.   Akibatnya banyak orang Muslim kini tidak sungkan lagi minum tuak hingga tenggen di sekitas komunitas non-Muslim.  

Tidak hanya sebatas tambahan tuak dan minuman keras, ternyata masih ada beberapa sudut di Aceh Tenggara merupakan “terlokasisasi” tempat maksiat, termasuk di Kampung Nangka dan tempat lainnya di Aceh Tenggara.  Pemandangan ini juga belum dapat dihilangkan oleh Tim Nahi Mungkar bentukan Pemerintah setempat, disamping judi togel masih beroperasi.

Ditambah lagi akhir-akhir ini terjadi keterpurukan ekonomi, minimnya lapangan kerja, dan tanah garapan untuk bertani juga semakin sempit, diduga menyebabkan timbulnya trend pencurian, kekerasan, dan banyak orang mencari hidup jalan pintas, sebagian dinal masyarakat penjual dan pemakai narkoba, yang berujung kepada pendangkalan akidah dan merusak pembentukan karakter moral adat ketimuran Indonesia di Tanah Alas, sehingga sopan santun bertutur secara adat dengan kearifan lokalnya kini cenderung terkikis (Akbar et al. 2013:341).  

Problem Solvingnya

            Sehungan dengan ancaman terhadap akidah kaum Muslimin Wilayah Perbatasan di negeri Syariat ini, Gubernur dengan segala kewenangannya menurut Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 dan Qanun turunannya harus tegas memerintahkan bupati/walikota wilayah perbatasan dengan cepat bertindak sebelum nasi terlanjur menjadi bubur.   Aceh Tenggara kini telah benar-benar teracam sebagai salah satu negeri Syariat di Aceh dari sudut Kristenisasi.   Disamping memang Pemerintah Aceh tidak terlihat gezahnnya bersama masyarakat adat melawan ancaman-acaman  kehidupan Syariat melaui Penyiaran Radio di Kabupaten Penghasil kemiri ini, lebih dari itu seolah-olah Pemerintah Provinsi membiarkan ketidak berdayaan daerah di wilayah perbatasan melawan hal-hal yang bertentangan dengan Syariat Islam.  Sehingga wilayah Aceh perbatasan yang dipayungi Gubernur Zikir pengembangan Syariat lewat Penyiaran Radio ternyata malah beliau sepetinya tidak tau atau tidak mau membina akidah dan menangkal aplikasi program kristenisasi dengan mengunakan penyiaran lewat radio Da’i wilayah perbatasan.  Maka tidak mengherankan banyak dugaan dari pemuka masyarakat bahwa di wilayah perbatasan (Aceh Tamiang, Aceh Tenggara, Kota Subulussalam, dan Singkil) terlalui jauh ibu kota provinsi sehingga rentang kendali pemerintahannya dari Banda Aceh sehingga daerah ini “terlupakan”.  Justru itu seandainya dilakukan referendum masyarakat wilayah perbatasan ini pasti ingin berpisah dengan Provinsi Aceh menjadi ALA di tengah-tenggara dan ABAS di barat selatan.

            Masyarakat adat wajib diberdayakan mulai tahun depan (2015), sebab bila diabaikan Pemerintah Aceh pelanggar konstitusi Republik yang memberi kewenagan kepada Gubernur Aceh dan pemerintah bawahannya.   Di Tanah Alas adat bersendikan Syarak, sarak bersendikan kitabullah.  Oleh sebab itu Gubernur harus mendorong penguatan tokoh-tokoh adat dalam melaksanakan peradilan adat Gampong bagi sipelanggarnya, termasuk pelaku pemelihara binatang haram, pemasok tuak dan minuman keras, memberantas peredaran narkoba, meningkatkan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja sesuai 21 macam janji politik Gubernur Zikir pada kampanyenya tempohari.   Wajibkan Dinas Perindutrian dan Perdaganagan, Dinas Pertanian, Dinas Hutbun, Dinas Perikanan, Dinas Peternakan Dinas Koperasi dan UKM menciptakan jutaan lapangan kerja di Aceh, agar tidak lagi kaum Muslimin menjadi miskin seperti sekarang ini rakyat Aceh Tenggara banyak mencari upahan ke Tanah Karo menjadi budak orang non-Muslim yang sedang menjalankan misi kristenisasinya kepada orang Aceh di wilayah perbatasan.   Mereka di Tanah Karo nyaris tanpa ada pembibingan dan penerangan Ukhuah lewat media elektronik lokal, khususnya Radio Da’i Perbatasan. Kini rata-rata Radio Da’i wilayah perbatasan Aceh Sumut ibaratnya hidup segan, mati tak mau;  dan ternyata masih tertatih-tatih tanpa bantuan apapun dari Pemerintah Aceh yang konon sekarang sedang mengelola uang banyak yang sering dipulangkan setiap akhir tahun anggaran ke Jakarta karena tidak mampu menghabiskannya untuk rakyat.  Rakyat Muslim wilayah perbatasan Aceh Tenggara-Sumut nyaris tidak lagi medapat informasi dakwah dan penguatan akidah lewat Radio Da’i perbatasan yang dulunya menjangkau hingga ke pelosok-pelosok yang bersinggungan dengan non-Muslim.

Bila Pemerintah Aceh Tidak Peduli terhadap keberadaan Radio Da’i Perbatasan ini (Permohonan pemberdayaannya telah disampaikan kepada Gubernur Zikir, tahun 2012 lalu), berarti orang Aceh mencoret mukanya sendiri dengan masuknya Program Kristenisasi ke Negeri Serambi Mekah wilayah Perbatasan.  Moral dan akidah orang Aceh di Wilayah Perbatasan kini menjadi taruhannya.  Harus dengan kesadaran koordinatif membuat program bersama, dimana sekarang belum terlambat dibangun kembali dengan pemberdayaan radio-radio Da’i Perbatasan di atas agar Syariat mengeliat lewat udara, tentu dengan kerjasama yang baik dengan Dinas Syariat Islam, Majelis Adat Aceh, MPU, MPD, Dinas Perhubungan Kominfo dan Baital Mal di bawah pembiayaan yang dianggarkan dalam APBA Provinsi 2015 dan APBK masing-masing kabupaten/kota di wilayah Perbatasan tahun 2015.   Radio ini sudah lengkap dengan izin operasional dari Pusat.  Semoga koordinasi ini merupakan awal kebersamaan kolektif kita orang Aceh yang ber-Syariat, bila didukung serius tentu memperbanyak pengikut Islam dari sebelumnya tidak berakidah.   Karena kini ada daerah pemukiman tertentu telah banyak berakidah dengan metode pemberdayaan Da’i lokal dan di Perbatasan sejak 1992 hingga tertembaknya Prof. Dr. H. Safwan Idris dan Prof. Dr. H. Dayan Dawood, MA.  Kekarang misi kedua almarhum ini di Aceh Tenggara tidak ada yang melanjutkan dari Provinsi Aceh, walaupun penulis sudah membicarakannya secara serius dengan Bapak Kepala Dinas Syariat Islam Aceh beberapa waktu lalu di Hotel Hermes Palace, Banda Aceh.       
 
 
 
DAFTAR BACAAN


Ahmad, Sayed Mudhahar.  1999.  Perjuangan Mempertahankan Hutan, Kearifan Tradisional Masyarakat Aceh Melestarikan Ekosistem Leuser.  Unit Manajemen Leuser, Medan, i – 276.

Akbar, Thalib, Sri Kartini, Kaisar Syuhada.  2013.  Adat Pantang Kemali, Tulahan dan Petuah Adat di Tanah Alas Kabupaten Aceh Tenggara, pp. iii – 258.

Akbar, Thalib dan Sri Kartini.   2006. Sanksi dan Denda Tindak Pidana Adat Alas.  Pemerintah Kabupaten Aceh Tenggara, Cetakan ke 2. pp.  1-24.

Djuned, T.Mohd.  1992.  Asas-Asas Hukum Adat.  Fakultas Hukum, Universitas Syiah
Kuala, Banda Aceh. pp.  1- 67.

Effendi, Usman.  1960. Dalam “Kenang-kenangan Musjawarah Masjarakat Alas ke I,
Tanggal 7 S/D 20 Djuli 1960, di Kutacane.

Hadikusuma, Hilman.  1987.  Hukum Kekerabatan Adat.  Fajar Agung, Jakarta.
            pp. 1-157.

Isa, Mohammad.  1960.   Dalam “Kenang-kenangan Musjawarah Masjarakat Alas ke I,
Tanggal 7 S/D 20 Djuli 1960, di Kutacane.

Iwabuchi, A.  1994.  The People of the Alas Valley, Clarendon Pres, Oxford, Yew York,
USA.

Sebayang , R.K.  1986.  Sejarah Sebayang Mergana.   Published by the Outhor, Jalan
Sei Mencirim nomor 23, Medan.

Soekanto, S.  1982.  Beberapa Teori Sosiologi  Tentang Struktur Masyarakat.
Rajawali , Jakarta. 

Zainuddin, H.M.   1961.  Tarich Aceh dan Nusantara.  Medan,: Pustaka Iskandar Muda

No comments