KONSERVASI TNGL OLEH MASARAKAT ADAT ALAS
RINGKASAN
PENGUATAN MASYARAKAT ADAT ACEH TENGGARA DI TENGAH PEMBANGUNAN GLOBAL
(MERUJUK KEPADA UNDANG-UNDANG NOMOR 44 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN KEISTIMEWAAN PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS NANGGROE ACEH DARUSSALAM, PERDA NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN KEHIDUPAN ADAT SERTA PERDA KAB ACEH TENGGARA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PEMBERDAYAAN, PELESTARIAN, DAN PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN LEMBAGA ADAT)
Oleh:
Dr. Thalib Akbar, MSc.(USA) dan Tengken Selian Pandiagan
PENGURUS MAJELIS ADAT ACEH (MAA) KAB.
AGARA
KEPALA DINAS KESEHATAN HEWAN DAN
PETERNAKAN KAB AGARA
NIP.
19610328 198603 1 003
MANTAN KEPALA KANWIL UNIT MANAJEMEN
LEUSER (UML)
MANTAN KADIS HUTBUN AGARA
MANTAN DIKLATBANG
KAB. AGAR
MANTAN KEPALA
BAG.ORGANISASI SETDAKAN AGARA
MANTAN KAKAN
PENGLAHAN DATA ELEKTRONIK AGARA
DIPRESENTASIKAN PADA ACARA:
DISKUSI
PANEL
JARINGAN
KOMUNITAS MASYARAKAT ADAT ACEH TENGGARA
dengan
tema:
PERDAGANGAN KARBON (carbon trade) DAN KAITANNYA DENGAN
MASYARAKAT ADAT ACEH TENGGARA
23 JANUARI 2010
PENDAHULUAN
UNDANG-UNDANG DAN HUKUM ADAT ALAS
Satu kesatuan nilai-nilai kenyakinan sosial yang tumbuh dan
berakar dalam kehidupan masyarakat
tertentu disebut dengan adat istiadat.
Keragaman adat istiadat di Aceh merupakan kekayaan yang berharga bagi
ummat, salah satu diantaranya adalah adat Alas. Keberadaan adat Alas telah memberikan
sumbangan dalam mengatur kehidupan masyarakat secara turun temurun di Lembah
Alas. Berdasarkan Undang-undang Nomor 44
tahun 1999, tentang penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh
dan Perda Nomor 7 tahun 2000, tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat, maka
Pemerintah Pusat telah mengakui keberadaan adat Aceh, termasuk adat Alas.
Dengan adanya pengakuan Pemerintah tersebut di atas
menunjukkan betapa besarnya peran adat istiadat untuk difungsikan kembali demi
mewujudkan keharmonisan kehidupan masyarakat Aceh pada umumnya dan masyarakat
Adat Alas pada khususnya. Adat istiadat
Aceh Alas juga berlandaskan “Adat Bak Po teu Meureuhom, Hukom bak Syiah
Kuala, Kanun bak Putro Phang, Resam bak Laksamana, Hukum ngon Adat lagee Zat
ngon Sifeut”. Sehubungan dengan maksud tersebut di atas,
maka penyelenggaraan kehidupan adat di Tanah Alas diatur dalam suatu Peraturan
Daerah yang disebut Qanun. Hukum adat
dalam masyarakat Alas telah terbukti sangat besar perannya mengatur tatanan
kehidupan masyarakat sejak ratusan tahun lalu.
Sehingga dikenal istilah pelanggaran adat, sanksi, dan denda adat.
Pelanggaran adat dalam kehidupan masyarakat Alas sangat
tidak dibenarkan karena dapat memalukan masyarakat adat secara totalitas. Namun demikian bila terjadi pelanggaran
adat, maka dapat diselesaikan secara tuntas dan memuaskan umumnya masyarakat
adat di luar pengadilan. Sehingga dalam
penyelesaian tindak pidana adat Alas mengacu pada Undang-undang Nomor 44 Tahun
1999 dan Perda Nomor 7 Tahun 2000, Pasal 10 menegaskan bahwa “Aparat
penegak hukum memberi kesempatan terlebih dahulu kepada Geuchik (Penghulu) dan
Imum Mukim untuk menyelesaikan sengketa-sengketa/perselisihan di Gampong/Mukim
masing-masing”. Pada Pasal 11,
ayat (1) berbunyi “Keuchik berwenang
untuk menyelesaikan perselisihan persengketaan/ permasalahan yang terjadi di
Gampong, baik masalah-masalah dalam keluarga, antar keluarga, dan masalah-masalah sosial yang timbul di
masyarakat dalam suatu Rapat Adat Gampong”, dalam hal ini Rapat Adat Alas. Pada ayat (2) menegaskan “Apabila dalam
jangka waktu 2 (dua) bulan perselisihan tersebut tidak dapat diselesaikan di
Gampong atau para pihak yang bersengketa tidak dapat menerima keputusan adat
tingkat Geuchik, maka perselisihan sengketa tersebut diselesaikan oleh Imum
Mukim dalam rapat Adat Mukim”. Tata cara dan syarat-syarat penyelesaian
perselisihan/ persengketaan, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan adat di
masing-masing daerah, dalam hal ini secara Adat Alas. Pasal 14 ayat (2) menegaskan bahwa “ Para
pihak yang tidak mengindahkan keputusan adat pada tingkat Geuchik
atau Imum Mukim, ia akan dikenakan sanksi adat yang lebih berat oleh
karena merusak kata kesepakatan dan mengganggu keseimbangan yang hidup dalam
masyarakat”. Pasal 15 ayat (1)
menegaskan bahwa “Dalam jangka waktu 1 (satu) bulan Imum mukim tidak dapat
menyelesaikan atau para pihak yang berselisih/bersengketa merasa tidak puas
terhadap keputusan adat tingkat Mukim, maka ia dapat mengajukan perkaranya
kepada aparat penegak hukum” (Polisi).
Pasal yang sama pada ayat (2) ”Keputusan adat yang telah dijatuhkan
kepada pihak-pihak yang bersengketa dapat dijadikan salah satu pertimbangan
oleh aparat penegak hukum dalam menyelesaikan perkara”. Pasal 24 berbunyi “Aparat Pemerintah yang berasal dari
luar daerah dan bertugas di Aceh, khusunya di Tanah Alas, harus mempelajari dan
menghormati dasar-dasar adat Alas dan nilai-nilai yang hidup di
tengah-tengah masyarakat adat”. Demikian jelasnya aturan di atas, dengan
demikian masyarakat adat Alas dapat
mengisi peluang ini demi kemaslahatan dimasa mendatang.
SEJARAH SINGKAT ORANG ALAS DAN
ASAL MUASAL ADAT ALAS
Bila berbicara tentang adat dan budaya suatu etnis, tentu tidak dapat dipisahkan dari etiologi dan antropologi budaya suku itu sendiri. Oleh sebab itu sebelum membahas tentang modal dasar pembangunan global, maka perlu dipaparkan terlebih dahulu sejarah singkat suku Alas, dari mana asal pendahulu mereka dan dari mana pula asal muasal adatnya.
Kata Ukhang Alas atau khang Alas atau kalak Alas telah bermukim di Lembah Alas (Alas valley) jauh sebelum Pemerintah Kolonial Belanda masuk ke Indonesia, dimana keadaan penduduk lembah Alas telah diabadikan dalam sebuah buku yang dikarang oleh seorang bangsa Belanda bernama Radermacher (1781:8). Bila dilihat dari catatan sejarah masuknya Islam ke Tanah Alas pada tahun 1325 (Effendy, 1960:36), maka jelas penduduk di walayah ini sudah ada walaupun masih bersifat nomaden (nomadic society), dengan menganut kepercayaan animisme dan lain-lain.
Sebutan nama Alas diperuntukkan bagi seorang atau kelompok etnis, sedangkan daerah Alas sendiri disebut dengan Tanoh Alas (Alasland). Menurut Kreemer (1922:64) kata “Alas” berasal dari nama seorang kepala etnis (cucu dari Raja Lambing), beliau bermukim di desa paling tua di Tanah Alas, yaitu Batoe Mboelan, kemudian, nama desa ini berubah ejaannya menjadi Batumbulan.
Iwabuchi (1994:10) menemukan bahwa raja yang pertama
sekali di Tanah Alas adalah bermukim di desa Batumbulan yang dikenal dengan
nama RAJA LAMBING. Dan keturunan raja
Lambing ini dikenal dengan clan of Selian
atau bermarga Selian. Raja Lambing
adalah keturunan RAJA LONTUNG atau
dikenal dengan cucu dari GURU TATEA BULAN dari Samosir, Tanah Batak. Tatea Bulan adalah saudara kandung dari Raja
SUMBA. Guru Tatea Bulan mempunyai lima
orang anak, yaitu Raja Uti, Saribu Raja,
Limbong, Sagala, dan Silau Raja. Saribu Raja adalah orang tuanya Raja
Borbor dan Raja Lontung. Raja Lontung mempunyai tujuh orang anak
laki-laki, yaitu: Sinaga, Situmorang, Pandiangan,
Nainggolan, Simatupang, Aritonang dan
Siregar, dan dua anak perempuan (Boru), yaitu Simamora dan Sihombing. Pandiangan
merupakan monyangnya Pande, Suhut Nihuta, Gultom, Samosir, Harianja, Pakpahan,
Sitinjak, SOLIN di Dairi.
Solin mempunyai tiga orang
anak laki-laki. Raja Lambing merupakan
anak yang paling bungsu dari tiga bersaudara, yaitu abangnya tertua adalah Raja
Patuha di Dairi, dan nomor dua adalah Raja Enggang yang hijrah ke Kluet,
keturunan dan pengikutnya adalah marga Pinem atau Pinim). Kemudian Raja Lambing hijrah ke Tanah Karo
dimana keturunan dan pengikutnya adalah marga Sebayang dan Selian. Sebayang berkembang dengan
wilayah kemukiman mulai dari Tigabinanga
hingga ke Perbesi, Desa Gugung dan
sekitarnya, Kabupaten Karo. Raja Lambing hijrah lagi ke Tanah Alas pada
abad ke 12, dan keturunannya adalah marga Selian. Selian awalnya berdomisili di Desa
Batumbulan, kecamatan Babussalam, Kabupaten Aceh Tenggara. Kemudian Selian ada
juga yang bermigrasi ke Kelut, Aceh
Selatan.
Setelah kedatangan Raja Lambing ke Tanah Alas, keturunannya ada 4 (empat)
orang , yaitu tiga orang laki-laki (Raja Adeh, Raja Kaye, dan Raja Lele) dan satu
orang putri. Tidak lama kemudian,
menyusul lagi Datuk Raja Dewa (Malik Ibrahim).
Raja Dewa kemudian kawin dengan putri Raja Lambing ini. Setelah beberapa tahun perkawinan Datuk Raja
Dewa, Raja Lambing menyerahkan kerajaan kepada menantunya (Raja Dewa). Raja Dewa merupakan pembawa ajaran Islam yang
termasyhur ke Tanah Alas. Bukti situs
sejarah kerajaan ini masih jelas, yaitu berlokasi dimuara Lawe Sikap, desa
Batumbulan. Malik Ibrahim atau Raja
Dewa mempunyai seorang putra yang diberi nama Alas dan hingga tahun
2000 telah mempunyai keturunan ke 26 yang bermukim di berbagai wilayah, baik di
tanah Alas, ibu kota Propinsi Aceh, Medan, Malaysia, maupun tempat lainnya.
Di tanah Alas, Raja Lambing mempunyai tiga orang
anak laki-laki, yaitu Raja Lelo (Raja
Lele) keturunan dan pengikutnya Selian, yang dikenal Selian Engkeran (Kecamatan
Lawe Alas dan sekitarnya), kemudian Raja Adeh yang merupakan monyang dan
pengikut dari Selian orang Kertan (Kecamatan Badar dan sekitarnya), dan
terakhir adalah Raja Kaye, yang keturunan dan pengikutnya berkembang di wilayah
Batumbulan, termasuk Bathin, kecamatan Babussalam. Keturunan Laja Lambing di Tanah
Alas hingga tahun 2000 (Effendy, 1960:36; Sebayang 1986:17; dan Iwabuchi
(1994).
Ada hal yang menarik perhatian sejarah bagi generasi muda di Tanah Alas,
yaitu: kesepakatan antara putra Raja Lambing (Raja Adeh, Raja Kaye dan Raja
Lele) dengan Putra Raja Dewa (Raja Alas),
bernama ALAS, yaitu syi’ar Islam yang di bawa oleh Raja Dewa diterima
oleh seluruh kalangan masyarakat Alas,
tetapi adat istiadat Alas yang dipunyai Raja Lambing tetap dipakai
bersama. Ringkasnya hidup dikandung
adat, mati dikandung hukum (Islam).
Oleh sebab itu jelas bahwa asimilasi antara adat istiadat dengan ajaran
Islam dalam kebudayaan suku Alas telah berlangsung sejak ratusan tahun lalu,
terpadu serasi.
Pada awal kedatangannya, Raja Dewa migrasi melalui pesisir bagian timur
Aceh (Pasai) masuk ke Tanah Alas. Sebenarnya Raja Dewa masih memegang budaya maternalistik dari Minang Kabau, yaitu
penerus keturunan/marga berada di pihak Perempuan, sehingga putranya si ALAS
(dikenal dengan Raja Alas), sebagai pewaris kerajaan masuk dan mengikuti garis
keturunan dan marga pihak ibu yaitu Selian. Setelah Raja Alas menerima asimilasi adat
istiadat yang dibawa oleh kakeknya kandung Raja Lambing, dengan ajaran Islam
dari ayahnya Raja Dewa berdasarkan kesepakatan dengan Paman Kandungnya (Raja
Adeh, Raja Kaye dan Raja Lele), maka
sejak itulah mulai menetapkan keturunan ALAS mengikuti garis keturunan ayah (paternalistik). Raja Alas dikenal pula sebagai pewaris
kerajaan, disamping kekayaan harta tanah warisan ayahnya dan yang diperoleh
dari kakeknya Raja Lambing (Sebayang, 1975:73 Wawancara dengan Kepala Mukim
Selian, H. Ismail Selian dan H.Ya’cob Pagan, tanggal 12 Maret 1998). Sejak itulah daerah ini dikenal dengan
sebutan nama Tanoh Alas (Tanah Alas).
Menurut Iwabuchi (1994:11), akhirnya, kakek Raja Alas
(Raja Lambing) migrasi lagi ke Kluet (Aceh Selatan) untuk mencari abangnya yang
nomor dua, yaitu Raja Enggang. Raja
Lambing di Kluet juga mempunyai keturunan dan pengikutnya dikenal dengan marga
Selian serta ia menghembuskan nafas terakhir di Klut dan makamnya diperkirakan berada di Deleng Puntung, desa
Icing Manuk, yaitu diperkirakan antara Lawe Sawah dan Lawe Manggamat
sekarang. Oleh sebab itu banyak
keturunan dan pengikutnya berkembang di Kluet.
Sebagian mereka sudah kembali lagi ke Batumbulan (Aceh Tenggara) dan
sekitarnya, bahkan sebaliknya dari Batumbulan juga ada yang hijrah ke Lae
(Lawe) Sawah, Paya Dapur, Kota Pajar, Manggamat dan sekitarnya di Kluet. Mereka bermukim di wilayah ini diperkirakan
sejak akhir abad ke 13 yang lalu
(Effendy, 1960:36; Iwabuchi, 1994:11).
Berdasarkan fakta sejarah dari berbagai literatur hasil penelitian para
sarjana menunjukan bahwa kerajaan di Tanah Alas yang tertua berada di
Batumbulan ini dan merupakan basis pemekaran serta cikal bakal lahirnya nama Tanah Alas. Oleh sebab itu dapat dimaklumi bahwa secara
asas hukum
adat dan ethnologis berlakulah teori receptio in complexu dan istilah Gods dientige Wetten yang
kemudian berubah menjadi Adatrech (Djunet, 1992:7-8). Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka
Batumbulan adalah merupakan wilayah kerajaan tertua dan asal
muasalnya adat-istiadat Alas dan pusat pengembangan syi’ar Islam di
Tanah Alas tempo doeloe.
Pemekaran Kute Batumbulan sebagai wilayah asal muasal
adat Alas menurut hasil penelitian Iwabuchi yang dicatat oleh Daalen sejak 1904-1907 adalah sebanyak 70-an desa,
diantaranya adalah:
Lawe Pangkat,Tenembak Alas,Gsung Batu, Pulonas, agian dari Mbarung (Ujung
Barat), Perapat, Cane Keretan, Pulo Nggang/Tambunan, Kute Tinggi, Deleng
Megakhe (Tanah Merah), Mbornut, Batin, Gulo, Pulopiku Terutungkute Kute Pasir
(Kampung Raja), Muara Lawe Bulan, Kuta
Lenge, Telage Mekar, Penumbukan, Kute
Batu, Lawe Rutung, Itam Mencawan ni Tualang, Kute Gerat, Lawe Sumur, Kandang Mbelang, Batumbulan Mbaru, Lawe Pio, Lawe Perlak, Ntualang Sembilar. Kemudian Rambung Teldak, Bagian dari Natam, Lawe
Gerger, Jongar, Pengeparan,dan Cingkam. Kute
Rambe, Kute Buluh, Kute Ujung, Kute
Mesung, Lawe Pungge, Lawe Bekung (Salang), Kute Lengat Mbaru (bagian Terutung
Pedi), Paye Munje, Kute Lengat., Terutung Pelariken, Ntualang, Terutung Buluh
(Kute Buluh), Kute Rih, Tenembak Langlang, Ngkeran, Lawe Kongkir, Rumah Luar, Paye
Munje, Terutung Payung, Kute Genting
Muara Baru, Pulo Tebu, Pulo Latong, Kute Mbaru, Terutung Pilun, Lawe
Sigale-gale, Semadam Lame, Semadam Mbaru, Penampaan, Lak-lak (dusun Aunan) Kute
Lengat Marpunge, Kute Tengah (Kecamatan Lawe Sigala-Gala),
Lawe Sempilang, Liang Pangi (Kecamatan Lawe Alas), Gumpang,
Cane, Kute Galuh, dan lain-lain yang belum diinventarisir.
Setelah kehadiran Selian di Batumbulan, muncul lagi kerajaan lain yang
dikenal dengan marga Sekedang yang basis wilayahnya meliputi Bambel hingga ke
Lawe Sumur dan sekitarnya. Raja Sekedang menurut beberapa informasi dan data yang
ditemukan pada awal kehadirannya ke Tanah Alas adalah mencari Ayahnya, yaitu
Raja Dewa yang migrasi ke Tanah
Alas. Raja Sekedang yang pertama sekali
datang ke Tanah Alas diperkirakan pada pertengahan abad ke 13, yaitu bernama Nazaruddin
yang dikenal dengan panggilan Datuk Rambat yang datang dari Pasai.
Pendatang
berikutnya semasa Raja Alas adalah kelompok Megit Ali dari Aceh Pesisir dan
keturunannya berkembang di Biak Muli yang dikenal dengan marga Bekhuh
(Beruh). Lalu terjadi migrasi
berikutnya yang membentuk beberapa marga, namun mereka tetap merupakan
pemekaran dari penduduk Batumbulan (Iwabuchi, 1994). Penduduk Batumbulan mempunyai beberapa
kelompok atau marga (clan dan sub-clan).
Marga tersebut meliputi Pale Dese
(marga tertua) yang bermukim di bagian barat laut Batumbulan, yaitu Terutung
Pedi, lalu hadir kelompok Selian, Kelompok Sinaga (Sinage), Keruas, dan Pagan. Disamping itu bergabung lagi marga Munthe,
Pinim (Pinem), Karo-karo dan Terigan (Tarigan) dan Menalu (Manalu). Marga Pale
Dese merupakan penduduk yang pertama sekali menduduki Tanah Alas dari Pesisir Barat Aceh, Labuhan Haji, diduga dulunya
tidak menerima ajaran Nasrani (Kristen) yang dibawa oleh Portugis dari Eropa. Namun
demikian mereka belum membentuk kerajaan yang tercatat dalam sejarah. Kemudian hadir pula Desky yang bermukim di
kampung Ujung Barat (sekarang masuk dalam wilayah Batumbulan II) dan Mbarung
yang berasal dari Melayu Deli pesisir Sumatera Timur (Sumut) dan Pesisir
selatan Singkil.
MARGA-MARGA
SUKU ALAS
Menurut
Zainuddin (1961:187) bahwa adapun marga yang tertua di Tanah Alas (sesuai
susunan abjad) adalah Marga Bangko, Cibro, Deski, Keling, Kepale Dese, Keruas,
Pagan, dan Selian. Kemudian hadir lagi marga Acih, Beruh, Gale, Kekaro (Karo-karo), Mahe (Maha),
Menalu (Manalu), Mencawan, Munthe, Pase, Pelis, Pinim (Pinem), Ramin, Ramud,
Sambo, Sekedang, Sugihen, Sepayung (Sipayung), Sebayang, dan marga Terigan
(Tarigan).
Atas
dasar etiologi kehadiran berbagai etnis maka jelas tidak ada satu orangpun
orang Alas yang berdiri sendiri secara independen ibarat tumbuhnya cendawan
dimusim hujan. Oleh karena itu etnis
Alas sejak monyang terdahulu hingga sekarang adalah pendatang. Namun kedatangan mereka ada yang lebih awal
hadir, yang datang kemudian, dan yang baru hadir dan bermukim di Tanah Alas. Sehingga wajar penduduk di Tanah Alas merasa
senasib-sepenanggungan serta sama-sama pendatang ke daerah ini, termasuk
penulis sendiri walaupun asli penduduk Batumbulan, namun harus diakui moyangnya adalah sebagai
imigran tempo doeloe.
Oleh
karena itu pengkotak-kotakan suku berdasarkan motto Alas Asli (Belo Situ) dan pendatang (belo langer) adalah merupakan upaya
pihak tertentu memecah belah persatuan dan kesatuan antar etnis dan suku/agama
di Tanah Alas.
PENGUATAN
MASYARAKAT ADAT DITENGAH PEMBANGUNAN GLOBAL
Penguatan masyarakat adat Kabupaten Aceh Tenggara tentu dititik beratkan
pada peningkatan ekonomi dengan merujuk kepada budaya lokalnya sebagai
masyarakat konsevasionis. Heterogenitas
masyarakat adat Aceh
Tenggara merupakan salah satu modal dasar dalam pembangunan ekonomi yang
tujuannya harus berdampak terhadap upaya menurunkan tekanan rakyat terhadap
kerusakan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) dan Kawasan Ekosistem Leuser
(KEL) secara terpadu. Misalnya Luas TNGL
dan KEL di Kabupaten Aceh Tenggara dan Gayo Lues 550.000 Ha. Dan Hutan Leuser ini dapat menyerap 4.000.000.-
ton CO2/debu dunia
(Ahmad, 1999). Diketahui dalam 1 Ha TNGL
rata-rata mempunyai kayu besar berfungsi sebagai pohon konservasi (diameternya
adalah di atas 0,5 meter) sebanyak 1.000 pohon.
Bagaimanakah model penguatan masyarakat adat Kabupaten ini dalam
pembangunan berkelanjutan ditengah pembangunan di Dunia untuk mendapatkan dana..........?
Tentu
kita dihadapkan dengan hitungan secara matematis yang berkorelasi langsung
dengan adat istiadat yang mana mempunyai estetika pemeliharaan hutan secara
berkelanjutan (Akbar, 2006). Menurut
perjanjian Kyoto dan kenvensi-konvensi lainnya bahwa ada imbal balik
kepentingan antara pihak pemelihara hutan sebagai penghasil Oksigen dengan para
pihak penghasil CO2 dan debu-debu lainnya di dunia. Masyarakat
adat di KEL seharusnya mendapatkan nilai imbal balik kepentingan tersebut di
atas dalam bentuk konvensasi pemeliharaan hutannya. Naif memang pada kenyataan saat ini,
masyarakat adat di Aceh Tenggara hanya gigit jari melihat batang-bantang kayu
yang harganya sampai puluhan juta rupiah
per batang. Sehingga tutan TNGL Aceh
Tenggara dijuluki dengan istilah Dollar Hijau oleh para toke-toke kayu illegal
beberapa waktu lalu.
Mari
dikalkulasikan hak masyarakat adat Aceh Tenggara dan sekitarnya mendapat jasa konservasi
(pemeliharaan Hutan) terhadap pembangunan ekonomi per kapita. Secara manusiawi dan memang dalam
Perjanjian Kyoto secara implisit memberikan peluang masyarakat adat Aceh Tenggara
menerima Dollar sebagai jasa melestarikan batang-perbatang pohon, misalnya saja
US$ 10 perbatang per tahun dari Negara
Maju yang tergabung dibawah UN (PBB) maka perhitungannya sebagai berikut:
Luas LEUSER : 550.000 Ha
Jumlah Pohon rata-rata : 1.000.- /Ha
Nilai Konservasi setiap pohon :
US$ 10/Tahun
Maka nilai jasa yang
seharusnya
Mengalir kepada masyarakat
Adat Aceh Tenggara adalah :
550.000 Ha X 1.000 batang X US$. 10.-
= US$.
5.500.000.000/tahun.
Atau nilai
uang kita (Rupiah) = US$ 5.500.000.000 X Rp. 10.000
= Rp. 5.500.000.000.000/Tahun
(Lima
setengah trilyun rupiah per tahun)
Perhitungan
di atas merupakan gambaran umum budget lost masyarakat adat Aceh Tenggara setiap
tahunnya sementara Eropa dan Amerika Serikat dan beberapa Negara penghasil CO2 dunia menikmati O2 secara geratis dari Leuser
yang di pelihara masyarakat Adat Aceh Tenggar dan hutan lain di dunia. Cukup naif memang, bahkan sangat naif. Bagai mana upaya ke depan meraih dana
tersebut di atas . . . . . . ? Untuk
mendapatkan arah konvensai jasa hutan kita dengan negara-negara Donor harus ada
syarat-syarat, antara lain adalah:
1. Siapkan Modal Aturan Main (MAM)
secara hukum, bentuk suatu institusi resmi pembuat Program dan penerima Funding
paling kurang untuk jangka waktu berlaku 90-120 tahun. Kalau dalam satu
Kabupaten atau Provinsi cukup dengan Perda atau QANUN, dan bila melibatkan 2
provinsi atau lebih Payung Hukumnya minimal
Keputusan Presiden RI;
2. Siapkan modal komunikasi yang
handal, artinya SDM melakukan lobby dana tersebut harus mampu berbahasa
Inggeris yang fasih untuk menyakinkan Negara
Donor;
3. Siapkan proposal dengan
perhitungan in-put out-put dan out-come – nya dari funding yang dimintakan;
4. Memakai konsultan
Internasional (dulu UML memakai Konsultan Silvy Nova, Belgia);
5. Tentu siapkan pula rumus bagi
hasil yang jelas dari Funding yang diberikan negara Donor;
6. Transparansi program,
sosialisasi ke masyarakat Lokal dan International;
7. Siapkan SDM institusi meminta
funding ini yang berkaliber Eropa dan Amerika Serikat untuk presentasi program
secara Internasional;
8. Siapkan dana dasar untuk
menjalankan organisasi dan perjalanan Nasional dan International ± 5 milyar per
tahun selama tiga tahun anggaran Daerah;
9. Pengurus Institusi harus
mempunyai komitmen dan perjanjian dalam bentuk Akte Notaris, setelah
mengabiskan dana operasional rutin Rp. 15
milyar selama tiga tahun, mampukah mendapat funding Rp. 5,5 trilyun di
atas......?
10. Siapkan keikhlasan SDM
Pengurus untuk pekerjaannya teknis, tidak boleh dipolitisir oleh pihak manapun,
dan seluruh dana diaudit oleh akuntan Internasional;
11. Dan syarat lain-lain yang akan
muncul dalam perjalanan organisasi selama meminta Funding yang dimasksud.
Dengan telah mendapat funding
yang open management dalam pengelolaannya, maka kalau tidak pandai membuat
pembangunan masyarakat adat cukup dibagikan saja perindividu. Sekarang jumlah Penduduk dalam komunitas masyarakat
adat Aceh Tenggara 70.000 orang, tentu mudah saja, yaitu:
Jumlah dana yang diperoleh di atas dibagi rata
jumlah masyarakat adat:
Rp. 5.500.000.000.000 dibagi
70.000 orang = Rp 78.571.420 per orang/tahun
mendapat dana jasa memeliahara hutan TNGL dan KEL kepada mayarakat adat Aceh
Tenggara.
Kapankah terwujud . . . . . . . . . . . .? Tergantung
komitmen dan upaya Pimpinan Kabupaten Aceh Tenggara dan kegigihan Pengurus
institusi melakukan lobby funding dari Dunia Internasional.
--------------------ooOOoo---------------------
No comments